Kamis, November 21, 2024
KuliahUlumul Hadits

Hadis Sahih (Makalah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      
Latar Belakang
Hadits
merupakan hukum Islam yang ke dua setelah Al-Qur’an. Sebagai salah satu sumber
otoritas Islam ke dua setelah Al-Qur’an, sejumlah literatur hadits memiliki
pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber hukum dan inspirasi agama.
Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan, namun karena pembukuan hadits baru
dilakukan beberapa tahun setelah Nabi wafat,  ditambah lagi dengan
kenyataan sejarah bahwa banyak hadits dipalsukan, maka keabsahan hadits yang
beredar dikalangan kaum muslimin diperdebatkan oleh para ahli.
Hadits
itu terdiri dari yang diterima (yakni yang shahih) dan yang ditolak (yakni yang
dhaif) itulah pembagian hadits secara garis besar. Tetapi para ahli hadits
membagi hadits dalam tiga bagian: hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai hadits shahih dan hadist hasan.
B.  
Rumusan Masalah
1.     
Jelaskan pengertian
Hadis Shahih dan apa saja kriterianya?
2.     
Jelaskan
istilah apa saja yang digunakan dalam hadis shahih dan jelaskan macam-macam
hadis shahin?
3.     
Bagaimana
kehujjahan hadis shahih serta sebutkan kitab-kitab yang tergolong hadis shahih?
4.     
Jelaskan pengertia
hadis Hasan dan jelaskan kriteria yang tercakup dalam hadis hasan?
5.     
Jelaskan
macam-macam hadis hasan dan bagaimana kehujjahannya?
6.     
Sebutkan
kitab-kitab yang tergolong hadis hasan?
BAB II
PEMBAHASAN
      
A.  
HADIST SHAHIH
1.       
Pengertian
Hadis Sahih
   Sahih menurut lughat
adalah lawan dari  “saqim”,
artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis
sahih adalah hadis yang sanadnya  bersanbung,
dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir
pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz  (kontroversi) dan terkena ‘illat yang
menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Dalam definisi lain, hadis sahih adalah,
مَانَقَلَهُ عَدْ لٌ تَامَّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ
غَيْرُمُعَلَّلٍ وَلاَشَاذٍ
Hadis yang
dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber-‘illat, dan tidak janggal.[1]
2.  
Kriteria Hadis
Sahih
        Beberapa kriteria hadis sahih antara lain:
a.      
Mengenai Sanad
1)     
Semua rawi
dalam sanad haruslah bersifat adil yakni:
Selalu taat kepada Allah dan Rasulnya, serta menjauhi perbuatan
maksiat, menjauhi dosa kecil yang dapat merendahkan martabat dirinya, tidak
melakukan perbuatan yang menyebabkan penyesalan.
Keadilan rawi merupakan faktor penemu bagi diterimanya suatu riwayat,
karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk
bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang
merusak harga diri (muruah) seseorang.
Dengan persyaratan ini, maka definisi di atas tidak mencakup hadis maudu’
dan hadis-hadis daif yang disebabkan rawinya dituduh fasik, dusta,
sebagainya.
2)     
Semua rawi dalam
sanad haruslah bersifat dhabith
 Rawi yang dhabith adalah
rawi yang kuat hapalan, sehingga dapat menyimpan hadis-hadis dengan baik dan
benar. Dan juga dipandang sebagai rawi yang zabit, rawi yang cermat mencatat,
membukukan hadis-hadis dan mampu mengungkapkan kembali dengan cakap, sehingga
tidak bercampur aduk dengan catatan-catatan lain.[2]
Sifat dhabith ini ada duamacam,yaitu dhabith dalam dada dan dhabith
dalam tulisan.
Dhabith dalam dada (adh-dhabth
fi ash-shudur
), artinya memiliki daya ingat yang dan hapal yang kuat sejak
ia menerima hadis dari seorang syaikh atau seorang gurunya sampai dengan pada
saat menyampaikannya kepada orang lain atau ia memiliki kemampuan untuk
menyampaikannya kapan saja diperlukan kepada orang lain. Sedangkan dhabith
dalam tulisan (adh-dhabth fi as-suthut), artinya tulisan hadisnya sejak
mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian, dan kekurangan.
Singkatnya tidak terjadi kesalahan-kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti,
karena hal demikian akan mengundang keraguan atas ke-dhabith-an seseorang.[3]
3)     
Sanadnya
bersambung
Maksud dari bersambungnya sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
 Untuk mengetahui bersambung
atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis melakukan tata kerja penelitian
seperti berikut ini: mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti, mempelajari
sejarah hidup masing-masing rawi, meneliti kata-kata yang menghubungkan antara
para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
      Jadi, suatu sanad hadis
dapat dinyatakan bersambung apabila seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat
(adil dan dhabit(
dan antara masing-masing rawi dengan rawi yang terdekat sebelumnya dalam sanad
itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah berdasarkan
ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
      Pertemuan atau
bersambungnya sanad dalam periwayatan ada dua macam lambing yang digunakan oleh
para perawiyat, yaitu pertemuan langsung (mubasyarah) dan pertemuan
secara hukum (hukmi). Pertemuan langsung artinya seseorang bertatap muka
langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan, maka ia mendengar berita
yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Sedangkan secara hukum (hukmi)
artinya seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan
ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat.
4)     
Tidak ber-‘illat
Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas cacat
kesahihannya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya
cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.[4]
5)     
Tidak terjadi
kejanggalan (syadz)
Syadz dalam bahasa
berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan. Maksudnya syadz
disini adalah periwayatan orang tsiqah (terpercaya yakni adil dan dhabith)
bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Dengan
demikian, jika disyaratkan hadis sahih harus tidak terjadi syadz berarti
hadis tidak terjadi adanya periwayatan orang tsiqah (terpercaya yakni
adil dan dhabith). Bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah.
Pengertian syadz ini mengecualikan, jika periwayatan seorang dha’if
bertentangan dengan periwayatan orang tsiqah tidak dinamakan syadz,
tetapi nanti disebut hadis munkar yang tergolong hadis dha’if.
Logikanya, pertentangan periwayatan orang tsiqah terhadap yang lebih tsiqah
saja sudah tidak sahih, apa lagi periwayatan orang dha’if terhadap orang tsiqah.
Demikian juga sebaliknya, periwayatan orang tsiqah bertentangan dengan
periwayatan seorang dha’if disebut hadis ma’ruf. Hadis ini tidak
termasuk syadz jika memenuhi beberapa persyaratan lain, bisa jadi
menjadi sahih.
Contoh syadz seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
melalui jalan ibnu Wahb smpai pada Abdullah bin Zaid dalam sifat-sifat wudhu’
Rasulullah:
أَنَّهُ مَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِفَضْلِ يَدِهِ
Bahwa beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan di
tangannya.
Sedangkan periwayatan Al-Baihaqi, melalui jalan sanad yang sama
mengatakan:
أَنَّهُ أَخَذَ لأُذُ نَيْهِ مَاءًخِلآَ فَ الْمَاءِالَّذِيْ أَخَذَ
لِرَأسِهِ
Bahwasanya beliau mengambil air untuk kedua telinganya selain air
yang diambil untuk kepalanya.[5]
Periwayatan Al-Baihaqi syadz (janggal) dan tidak sahih, karena
periwayatannya dari Ibnu Wahb seorang tsiqah, menyalahi periwayatan jama’ah
ulama dan Muslim yang lebih tsiqah. Syadz bisa terjadi pada matan suatu hadis
atau pada sanad. 
b.     
Mengenai Matan
1)     
Pengertian yang
terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan ayat Al-Qur’an atau
hadis mutawatir walaupun keadaan rawi sudah memenuhi syarat. Bila matan hadis
dinilai bertentangan dengan ayat Al-Qur’an atau hadis mutawatir, maka hadis itu
tidak dipandang hadis sahih.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلَيُّهُ    (رواه البخارى)
Artinya: “Siapa yang memanggil, padahal ada kewajiban puasa atas
dirinya,  maka hendaklah walinya berpuasa
(untuk membayarnya).”
(HR. Bukhari)
Hadis diatas meskipun sanadnya memenuhi persyaratan hadis sahih,
ditolak oleh sebagian ulama, karena mereka menilai bahwa matan hadis tersebut
bertentangan bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَاَنْ لَيْسَ لِلاِ نْسَانِ اِلاَّمَاسَعَى (النجم :  30)
Artinya:”Dan sesungguhnya tidak ada bagi manusia, kecuali apa
yang ia usahakan.”
(Q.S. An-Najm:30)
2)     
Pengertian
dalam matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijmak) ulama,
atau tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenarannya dapat dipastikan
secara sepakat oleh para ilmuwan.
3)     
Tidak ada
kejanggalan lainnya, jika dibandingkan dengan matan hadis yang lebih tinggi
tingkatan dan kedudukannya.[6]
Kriteria
di atas dijadikan sebagai ukuran kesahihan hadis dapat dipahami karena faktor
keadilan dan kezabitan rawi dapat menjamin keaslian hadis yang diriwayatkannya
seperti keadaan ketika hadia itu diterima dari orang yang mengucapkannya.
Bersambungnya
sanad dengan para perawinya yang kondisinya demikian dapat menghindarkan
tercemarnya hadis yang bersangkutan dalam perjalanannya dari Rasulullah SAW
sampai rawi terakhir. Tidak adanya kejanggalan dalam matan atau sanad itu
merupakan bukti keaslian dan ketetapan hadis yang bersangkutan serta
menunjukkan bahwa padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal dan cacat.
Tidak
adanya cacat menunjukkan keselamatan hadis yang bersangkutan dari hal-hal yang
samar yang membuatnya cacat setelah dihadapkan pada syarat-syarat kesahihan
lainnya yang berfungsi untuk meneliti faktor-faktor lahiriah.
Jadi, hadis
sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna kedhabit-annya, sanadnya
muttashil, dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.
3. Istilah-Istilah Yang Digunakan dalam Hadis Sahih
Ada beberapa istilah yang biasa digunakan oleh ulama hadis dalam menunjuk
hadis itu sahih, misalnya sebagai berikut.
a.      
هَذَا
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ
= Ini hadis shahih.
Artinya hadis tersebut telah memenuhi segala persyaratan hadis sahih yang baik
sanad dan matannya yaitu ada 5 kriteria persyaratan diatas.
b.     
هَذَاحَدِيْثٌ
غَيْرْصَحِيْحٌ
= Ini hadis tidak
shahih
, artinya hadis tersebut tidak memenuhi persyaratan hadis shahih baik
persyaratannya yang menyangkut sanad atau matan.
c.      
هَذَاحَدِيْثٌ
صَحِيْحُ الأِسْنَادِ
= Hadis ini shahih
isnadnya
, berarti hanya shahih dalam sanad-nya saja sedang matan-nya belum
tentu shahih mungkin terjadi adanya kejanggalan (syadz) atau adanya ‘illat,
perlu penelitian lebih lanjut. Berarti mukahrrij-nya baru menanggung 5
syarat hadis shahih yang menyangkut sanad saja, yaitu ittishal as-sanad,
adil, dhabith, tidak adanya syadz dan illah. Sedangkan syadz dan ‘illah pada
matan belum terselesaikan penelitiannya. Dengan demikian hadis yang hanya
shahih sanad-nya saja matan-nya belum tentu shahih. Namun, jika ungkapan
tersebut datangnya dari seorang hafizh yang dapat dipedomani (mu’tamad) dan
tidak menyebutkan ‘illat-nya, maka lahirnya shahih matan-nya, karena asalnya
tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat.
d.     
أَصَحُّ
اللأَسَانِيْدِ
= Sanad yang paling
shahih
. Sanad hadis shahih memiliki tahap tingkatan yang berbeda sesuai
dengan kadar ke-dhabith-an dan keilmuan para perawi hadis tersebut. Bentuk
ungkapan ini yang secara mutlak diperselisihkan dikalangan para ulama kecuali
dibatasi dikalangan para sahabat saja.
e.      
 =هَذَا أَصَحُّ شَئٍ فِى الْبَابِIni adalah yang paling shahih dalam bab. Maksudnya hadis
paling unggul dalam bab itu, tidak pasti menunjukkan hadis shahih, bisa jadi
hadisnya lemah atau hanya satu hadis yang memenuhi persyaratan shahih dalam bab
tertentu.
f.      
Perkataan
Al-Hakim:عَلَي شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ=
Artinya para perawi pada sanad yang dinyatakan shahih sesuai dengan
persyaratan Al-Bukhari Muslim.
g.     
Muttafaq
‘Alayh,
maksudnya disepatakati
keshahihannya oleh kedua syaikhyn Al-Bukhari dan Muslim
bukan disepakati
para ulama semuanya. Tetapi Ibnu Ash-Shalah mengatakan, bahwa kesepakatan umat
melaziminya karena mereka sepakat menerima apa yang disepakati kedua ulama
tersebut.[7]
3.     
Macam-macam
Hadis Sahih
Hadis sahih terbagi menjadi dua, yaitu sahih li dzahtih
(sahih karena dirinya) dan sahih li ghairih (sahih bukan karena
dirinya).
a.      
Hadis Sahih
Lizatih
Hadis sahih ini adalah hadis sahih yang memenuhi secara maksimal
syarat-ayarat hadis sahih.
Contoh: yang artinya: “Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf
telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila mereka
bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.”
(HR.
Bukhari)
Hadis tersebut diterima oleh Bukhari dan Abdullah bin Yusuf,
Abdullah bin Yusuf menerima dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’
menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itu adalah sahabat Nabi yang mendengar
Nabi SAW bersabda seperti hadis yang diatas. Semua nama-nama tersebut, mulai
dari Bukhari sampai dengan Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi yang adil,
zabit, dan benar bersambung, tidak ber-‘illat, baik sanadnya maupun
matannya. Maka hadis diatas termasuk hadis sahih lizatih.
b.     
Hadis Sahih Li
Ghairih
      Hadis sahih li ghairih
adalah hadis sahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Hadis
ini disebut juga hadis dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadis sahih karena
diperkuat oleh hadis-hadis yang lain. Setidaknya hadis yang memperkuat itu
tidak ada, maka hadis tersebut hanya berada pada tingkatan hadis hasan. Hadis
sahih li ghairih hakekatnya adalah hadis hasan lizatih (hadis hasan
karena dirinya sendiri).
Supaya lebih jelas perhatikanlah hadis berikut:
 عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ
اللّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ
قَالَ:لَوْلاَاَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى لاَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ
كُلِّ صَلاَةٍ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya
aku tidak menyusahkan umatku, tentu menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi)
setiap shalat.” (HR Bukhari dan Turmuzi)
Bila suatu hadis diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadis itu
dihitung bukan sebagai satu hadis, tetapi lima hadis. Hadis yang diriwayatkan
oleh empat sanad, dihitung sebagai empat buah hadis, dihitung sebagai empat
puluh hadis, jadi hadis yang diatas diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad
tersendiri dan Tirmizi dengan sanad tersendiri pula, dihitung sebagai dua
hadis. Pertama adalah hadis Bukhari, yang dinilai sebagai hadis lizatih, dan
kedua adalah hadis Tirmizi karena diperkuat oleh hadis Bukhari, hadis Tirmizi
naik tingkatannya menjadi hadis sahih li gairih.
4.     
Status
Kehujjahan Hadis Sahih
        Kedudukan hadis sahih
sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi daripada hadis hasan dan dhaif, tetapi
di bawah kedudukan hadis mutawatir.
        Hadis mutawatir, hadis
yang pasti sahih (benar) berasal dari Rasulullah SAW. Hadis sahih ahad tidaklah
pasti, tapi dekat kepada kepastian. Sebagian ulama menentukan urutan tingkatan
(martabat) hadis sahih sebagai berikut:[8]
a.      
Hadis sahih
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
b.     
Hadis sahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.
c.      
Hadis sahih
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
d.     
Hadis sahih
yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai
oleh Bukhari dan Muslim (berarti rawi-rawinya terdapat dalam Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim).
e.      
Hadis sahih
yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim, sedangkan kedua
Imam itu tidak men-takhrij-nya.
f.      
Hadis sahih
menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya.
g.     
Hadis sahih
menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya.
h.     
Hadis sahih
yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim. Ini
berarti si pen-takhrij tidak mengambil hadis dari rawi-rawi atau guru-guru
Bukhari atau Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih
diperselisihkan. Akan tetapi, hadis yang di-takhrij-kan tersebut, disahihkan
oleh Imam-imam hadis yang kenamaan. Misalnya hadis-hadis sahih yang terdapat
pada Shahih Ibnu Huzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan Shahih Al- Hakim.[9]
5.     
Kitab-kitab Hadis
Shahih
      Para ulama telah
menyusun sejumlah kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis shahih. Yang paling
masyhur diantaranya adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Namun
orang yang tidak paham sering keliru menggang bahwa kedua kitab shahih itu
telah mencakup seluruh hadis shahih. Padahal tidak demikian, dan anggapan
tersebut merupakan suatu kesalahan, karena kedua penyusun kitab tersebut tidak
menyatakan demikian. Mereka tidak menuliskan banyak hadis shahih karena
khawatir kitabnya akan menjadi terlalu tebal.[10]
Adapun kitab-kitab yang disusun khusus untuk menghimpun hadis-hadis
shahih antara lain:
a.      
Shahih
Al-Bukhari (w. 250 H), pertama kali penghimpun khusus hadis shahih. Di dalamnya
terdapat 7.275 hadis termasuk yang terulang-ulang atau 4.000 hadis tanpa
terulang-ulang.[11]
b.     
Shahih Muslim
(w. 261 H), didalamnya terdapat 12.000 hadis termasuk yang terulang-ulang atau
sekitar 4.000 hadis tanpa terulang-ulang. Secara umum hadis Al-Bukhari lebih
shahih dari pada shahih Muslim, karena persyaratan Shahih Al-Bukhari lebih
ketat muttashil dan tsiqah-nya sanad disamping terdapat kajian fikih yang tidak
tedapat dalam Shahih Muslim.[12]
c.      
Shahih Ibnu
Khuzaiman, kitab ini disusun oleh seorang Imam dan Muhadis besar, Abu Abdillah
Abu Bakar Muhammad bin Ishak bin Khuzaiman (w. 311 H). Ia dikenal sangat
teliti.
d.     
Shahih Ibnu
Hibban, kitab ini disusun oleh seorang Imam dan Muhaddis Al-Hafid. Abu Hatim
Muhammad bin Hibban Al- Busti (w. 354 H) salah seorang murid Ibnu Khuzaimah. Ia
menamakan kitab susunannya dengan nama Al-Taqasim wal Anwa disusun dengan
sistematika sendiri, tidak berdasarkan bab.
c.     
HADIS HASAN
1.     
Pengertian
Hadis Hasan
      Dari segi bahasa hasan
dari kata al-husn ( الحُسْنُ)
bermakna al-jamal (الجَمَالٌ)
artinya keindahan. Menurut istilah para ulama memberikan definisi hadis
hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam An-Nukhbah, yaitu:
وَخَبَرُ الآحَادِ بِنَقْلِ عَد لِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ
غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَشَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحُ ملِذَاتِهِ, فَأِنْ خَفَّ
الْضَبْطُ فَالْحَسَنُ لِذَّاتِهِ
Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syadz
dinamakan shahih lidzatih. Jika kurang sedikit ke-dhaibith-annya disebut hasan
lidzatih.
هُوَمَااتَّصَلَ
سَنَدُهُ بِنَقْلِ الَّذِيْ قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَ مِنَ الشُّذُوْذِ
وَالْعِلَّاةِ
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada keganjjilan
(syadz), dan tidak ada ‘illat.[13]
2.     
Kriteria Hadis
Hasan
      Kriteria hadis hasan
hampir sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi
ke-dhabith-annya. Hadis shahih ke-dhabith-an seluruh perawinya
harus tamm (sempurna), sedangkan dalam hadis hasan kurang sedikit ke-dhabith-annya
jika dibandingkan dengan hadis shahih. Ke-dhabith-an perawi hadis hasan
nilainya memang kurang jika dibandingkan dengan perawi hadis shahih, karena kedhabithan
para perawi hadis shahih sangat sempurna (tamm). Akan tetapi jika
dibandingkan dengan ke-dhabith-an perawi hadis dha’if tentu belum
seimbang, karena ke-dhabith-an perawi hadis hasan lebih unggul.
3.     
Macam-macam
Hadis Hasan
      Hadis hasan terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighayrih:
a.      
Hasan Lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis hasan dengan sendirinya, karena
telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditentukan.
b.     
Hasan Lighayrih
Hadis hasan lighayrih ada beberapa pendapat diantaranya adalah:
هُوَ الْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَارُوِىَ مِنْ طَرِيْق أُخْرَى
مِثْلُهُ آَوْ آَقْوَى مِنْهُ
Adalah hadis dha’if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain
yang sama atau lebih kuat.
هُوَ الضِّعِيْفُ اِذَاتَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلَمْ يَكُنْ سَبَبُ
ضَعْفِه فِسْقَ الرَّاوِى أَوْكِذْبَهُ
Adalah hadis dha’f jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab
kedha’ifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa hadis dha’if bisa
naik menjadi hasan li ghayrih dengan dua syarat, yaitu:
1)     
Harus ditemukan
periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2)     
Sebab
kedha’ifan hadis tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hapalan yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan
jelas (majhul) identitas perawi.
Contoh riwayat Ibnu Majah dari Al-Hakam bin Abdul Malik dari
Qatadah dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Aisyah, Nabi bersabda:
لعَنَ اللّهُ الْعَقْرَبَ لاَتَدَعْ مُصَلِّيًا وَلاَغَيْرَهُ فَاَقْتُلُوْهَافِى
الحِلِّ وَالْحَرَمِ
Allah melaknat kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik
keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah
Haram.
Hadis diatas dha’if karena Al-Hakam bin Abdul Malik seorang dha’if,
tetapi dalam sanad lain riwayat Ibn Khuzaimah terdapat sanad lain yang berbeda
perawi di kalangan tabi’in (mutabi’) melalui Syu’bah dari Qatadah, maka ia naik
derajatnya menjadi hasan lighayrih.[14]
4.     
Kehujjahan
Hadis Hasan
      Hadis hasan dapat
dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadis shahih. Semua Fuqaha,
sebagai Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit
dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratannya penerimaan hadis
(musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam
persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadis shahih,
seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.[15]
5.     
Kitab-kitab
Hadis Hasan
Kitab-kitab hadis yang memuat hadis hasan, adalah sebagai berikut:
a.      
Jami’
At-Tirmidzi
yang masyur
dikenal Sunan Al-Tirmidzi. Kitab ini yang mencuatkan pertama istilah
hadis hasan, karena semula hadis dari segi kualitasnya hanya dua, yakni hadis
shahih dan dha’if. Kemudian setelah mempertimbangkan cacat sedikit sja misalnya
dhabith yang kurang sempurna (ghayr tamm) sedikit dimasukkan ke
bagian dha’if, maka diambillah jalan tengah yaitu hadis hasan.
b.     
Sunan Abu
Dawud,
di dalamnya terdapat hadis shahih,
hasan, dan dha’if dengan dijelaskan kecacatannya. Hadis yang tidak dijelaskan
kedha’ifannya dan tidak dinilai keshahihannya oleh para ulama dinilai hasan
oleh Abu Dawud.
c.      
Sunan
Ad-Daruquthni,
yang
dijelaskan di dalamnya banyak hadis hasan.[16]  
BAB III
PENUTUP
A.  
Kesimpulan
1.     
Menurut para
ahli, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya 
bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang
sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan
hadis yang syadz  (kontroversi)
dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya. Sedangkan
hadis hasan menurut para ahli adalah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada
keganjjilan (syadz), dan tidak ada ‘illat.
2.     
Hadis shahih
terbagi menjadi dua macam, yaitu: shahih lizatih dan shahih li ghairih.
Sedangkan hadis hasan terbagi menjadi dua juga, yakni hasan lidzatih dan
lighayrih.
3.     
Kriteria hadis
hasan hampir sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak
pada sisi ke-dhabith-annya. Hadis shahih ke-dhabith-an seluruh
perawinya harus tamm (sempurna), sedangkan dalam hadis hasan kurang
sedikit ke-dhabith-annya jika dibandingkan dengan hadis shahih.
4.     
Kitab-kitab
hadis shahih adalah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih Ibnu
Khuzaiman
, dan Shahih Ibnu Hibban. Sedangkan kitab-kitab hadis hasan
adalah Jami’ At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ad-Daruquthni.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad, dkk, Ulumul
Hadis,
Pustaka Setia,  Bandung,  2000.
Khon , Abdul Majid, Ulumul Hadis,
Amzah, Jakarta, 2010.
Solahuddin,  Agus, M. , dkk, Ulumul Hadis, Pustaka
Setia,  Bandung, 2011.


[1] M. Agus
Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia), 2011,
h. 141.
[2] Muhammad
Ahmad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia), 2000, h.103.
[3] Abdul
Majid  Khon,Ulumul Hadis (Jakarta:
Amzah), 2010, h. 152.
[4] M. Agus
Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, opcit, h.144.
[5] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, op. cit. h. 152-153.
[6] Muhammad
Ahmad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis,op. cit. h. 105.
[7] Abdul
Majid  Khon, Ulumul Hadis, op.
cit, h. 156-157.
[8] Muhammad
Ahmad, dkk Ulumul Hadis, op. cit, h. 107.
[9] M. Agus
Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, op. cit, h.147.
[10] Ibid, h.
147.
[11] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, op. cit. h. 160.
[12] Ibid, h. 158.
[13] Ibid, h.
159.
[14] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, op. cit. h.160-161.
[15] Ibid, h.
161.
[16] Ibid, h.
163.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *