Senin, Oktober 14, 2024
KuliahUlumul Hadits

Al – Ijtihad (Tugas)

A.   
AL-IJTIHAD
1.     
Pengertian
     Al-ijtihad berasal dari fi’il madhi (kerja
lampau)  جتهد  اyang berasal badzl al-juhd (mencurahkan
segala kemampuan ). Secara terminologis, menurut Abu Zahra di dalam kitab ushul
al-fiqih,
al-ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai
suatu atau berbagai urusan. Dari dua arti tersebut dapat diperluas, bahwa
ijtihad ialah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk
memutuskan suatu ketentuan syariah (hukum Islam) tentang kasus yang
penyelesaiannya belum disebutkan di dalam al Quran dan sunnah Rasulullah saw.
Bagi ulama melakukan pendekatan melalui pemikiran holistik dan integral,
ijtihad dapat diberlakukan di berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi,
filsafat, dan tasawuf.
     Adapun
ulama ushul fiqh melihat ijtihad sebagai aktifitas nalar yang hanya berkaitan
dengan masalah fiqh. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa upaya
memahami masalah-masalh teologi, fisafat, dan tasawuf dari teks al Quran atau
as-sunnah tidak dinamakan sebagai aktivitas ijtihad. Sebagai aktivitas nalar
secara maksimal, seseorang yang akan berijtihad dituntut untuk memiliki
kapasitas ilmiah yang diperlukan dalam berijtihad. Menurut al-Ghazali, yang
berhak untuk melakukan ijtihad hanya seorang mujtahid yang memiliki dan
menguasai bidang-bidang diperlukan untuk berijtihad. Ulama kontemporer
cenderung mengartikan ijtihad ini tidak hanya dalam bidang hukum, tetapi semua
aspek dalam kehidupan untuk kebaikan dan kemasalahatan manusia selama tidak
melanggar al Quran dan as-Sunnah.
2.     
Kedudukan
     Menurut Al Hasaballah
(ahli ushul fiqh dari Mesir), surat an-Nisa’ [4] ayat 59 terutama
kalimat “kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” memberi
petunjuk kepada umat Islam untuk melakukan induksi atau analogi dalam membahas
persoalan-persoalan yang kadang kala sulit dipahami dalam upaya untuk mencapai
tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Ayat tersebut dipandang para ulama
sebagai salah satu dalil yang melegimasi aktivitas ijtihad selain ayat 105.
Menurut Abu Wahab Khalaf, ayat yang membahas tentang hukum tidak lebah 3,5%
atau 288 ayat. Ini mengakibatkan umat Islam akan mengalami kondisi yang statis
manakala tidak melakukan upaya ijtihad untuk menyelesaikan permasalahan aktual.
     Adapun dasar hukum ijtihad dalam sunnah
adalah sabda Rasulullah saw: yang artinya “Apabila seorang hakim (akan)
menetapkan  hukum  lalu 
ia berijtihad, dan ijtibadnya itu salah, maka ia mendapat satu pahala”
(HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Handal, an-Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu dari Amr
bin As). Hadis  lain adalah hadis yang
intinya menceritakan dialog Rasulullah saw dengan salah seorang sahabat
Mu’azbin Jabal (603-639), ketika diutus ke Yaman sebagai qadbi (hakim).
Pada waktu itu Rasulullah saw. Bertanya pada Mu’az bin Jabal tentang cara
menetapkan hukum:
كىف تقى إ ذا عر ص لك القضاء.قا ل : ا قضى بكتا ب اللّهز قا ل : فإ ن
لم تجد فى كتا ب اللّه. قا ل : فإ ن لم تجد فى كتا ب اللّه و لا فى سنة ر سو ل
اللّه ؟ أ ختهد رأ يى ولا أ لو … (رواه ابو داود)
Artinya:
“bagaimana kamu akan memutuskan suatu ketika menghadapi
masalah?  Mu’as bin Jabal mengatakan:
‘apabila saya dapati dalam al Quran hukum yang terkait dengan hal  itu, maka saya terapkan ayat itu, apabala
tidak ada dalam al Quran, dan apabila dalam sunnah Rasulullah saw juga tidak
ada hukumnya, maka saya akan berijtihad dengan pendapatku’.” (HR. Abu  Daud)
3.     
Dalil dan
Metodi Penggalian Hukum Islam
Sumber
utama dan primer ajaran dan hukum Islam adalah al Quran dan as-Sunnah. Namun
karena bersifat umum, sementara problematika yang muncul bersifat kontemper,
maka ulama merumuskan dalil-dalil untuk menggali hukum baru yang tidak
ditetapkan sebelumnya. Adapun dalil-dalil atau metode-metode ijtihad tersebut
adalah:
a.      
Ijma’. Secara etimologis, ijma’ berarti kesempatan. Sedangkan secara
etimologis sebagaimana dirumuskan oleh al-Ghazali, ijma’ ialah kesempatan umat
Muhammad secara khusus tentang masalah agama. Dari beberapa definisi yang
disampingkan para ulama, ijma’ adalah kesempatan para mujtahid setelah
Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ yang praktis. Karena wilayah umat islam
yang semakain meluas, maka ulama kontemporer cenderung  memehami kesempatan kebanyakan ulama, bukan
seluruh ulama.
b.     
Qiyas. Secara terminlogis, qiyas berarti mengukur atau menimbang.
Menurut Abdul Wahab Khalf, qiyas ialah menyamakan suatu kasus yang hukumnya
terdapat di dalam al Quran, disebabkan persamaan ‘illah (alasan)
hukumnya. Dalam menggunakan qiyas ini harus terpenuhi empat unsur, yaitu adanya
masalah, masalah yang akan diqiyaskan, hukm asal, dan ‘illah. Punya alasan
hukum (illah) yang sama, yaitu memabukkan.
c.      
Istihsan. Secara etimologis, istihsan ialah menyatakan dan memperbaiki
sesuatu. Menurut Abdul Wahab Khalf, istihsan berarti bahwa seseorang berpaling
untuk tidak bertentangan dengan hukum ytiu karena ada sesuatu yang menghendaki
demikian. Kalangan asy-Syafi’iyah tidak mengenal masalah ini, karena mereka
menolak dengan alasan barang siapa beristihsan berarti telah membuat hukum.
d.     
Al-Maslahah
al-Mursaah.
Metodi ini
sering disebut dengan is-tishlah, yang berarti mencari kemasalahatan.
Secara terminologis, berarti menetapkan suatu masalah hukum yang kasusnya tidak
disebutkan secara eksplisit di dalam al Quran maupun as-Sunnah. Penetapan itu
berdasarkan  masalah (kebaikan)
yang dibolehkan oleh syariah.
e.      
Sadd
az-Zari’ah.
Upaya mujtahid
untuk menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah.
Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari tindakan yang lain dilarang.
4.     
Kualifikasi dan
Tingkatan Mujtahid
   Berangkat dari keabsahan
ijtihad dalam ajarang Islam, sementara persoalan yang muncul semakin kompleks,
baik sosial politik ekonomi maupun lingkungan, maka kehadiran ijtihad selalu
dibutuhkan dan diharapkan setiap masa untuk menyelesainkan persoalan-persoalan
yang belum terjadi pada nabi. Namun demikian, tidak berarti semua orang boleh
denganleluasa melakukan ijtihad. Aktivitas ijtihad dimungkankan bagi mereka
yang mempunyai kapabilitas dalam masalah ilmu dan spiritual. Menurut  asy-Syatibi (w. 790 H), seorang mujtahid
harus mampu mempunyai mamlakah (kemampuan) dalam dua hal. Pertama, mapu
memahami maqashid asy-Syari’ah (tujuan-tujuan syariah. Kedua, sanggup
menetapkan hukum dengan pemahaman sendiri terhadap maqashid asy-Syari’ah.
   Berdasarkan pendapat para
ulama, Yusuf  Qardawi memberikan beberapa
kriteria yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, yaitu:
a.      
Harus
mengetahui kandungan dan ilmu al Quran
b.     
Mengetahui
as-Sunnah dan ilmu hadits
c.      
Memahami bahasa
arab
d.     
Mengetahui
tema-tema yang sudah merupakan ijma’
e.      
Mengetahui ushul
fiqh
f.      
Mengetahui
maksud-maksud syariah
g.     
Mengenal
manusia dan alam sekitarnya
h.     
Bersifat adil
dan bertakwa
     Setiap orang tentu
mempunyai pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan yang berbeda-beda. Oleh karena
itu para ulama membagi lima tingkatan mujtahid yaitu:
a.      
Mujtahid mustaqil,
yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syariah dari sember primer
yaitu al Quran dan as-Sunnah.
b.     
Mujtahid muntasib,
yaitu mujtahid yang mampu mengenali hukum-hukum syariah dengan mengikuti salah
satu mazhab.
c.      
Mujtahid
mazhab,
yaitu mujtahid yang menetapkan hukum syariah dengan mengikuti suatu
mazhab, baik dalam masalah pokok maupun furu’ (cabang).
d.     
Mujtahid murajjih,
yaitu mutahid yang hanya membanding-bandingkan ijtihad beberapa mujtahid yang
ada kemudian menetapkan yang paling rajih (kuat).
e.      
Mujtahid mustadil,
yaitu mujtahid yang tidak melakukan tarjih tetapi hanya memaparkan semua
pendapat dengan menyebutkan dalil-dalilnya kemudian menganjurkan salah satu
yang paling vilad untuk diikuti.
5.     
Urgesi Ijtihad
di Dunia Modern
     Prodok hukum-hukum fiqh yang ada
sekarang ini sebenarnya hasil ijtihad ulama pada zaman dahulu, yaitu prodik
ulama zaman keemasan hukum islam. Periode keemasan hukum Islam berlangsung
selama 250 tahun, yaitu abad ke-2 sampai abad ke-4 Hijriah. Setelah itu tibalah
masa kejumudan dan taqlid. Maka dengan sendirinya kegiatan ijtihad
menjadi terhenti, dan umat islam hanya mengikuti mazhab-mazhab besar terdahulu.
Ahmad Hasan, di dalam catatan akhir bukunya, The Early Development of
Islamic Jurisprudence,
mengatakan bahwa saat ini ijtihad harus digiatkan
oleh para ahli yang berkompeten dengan bekerjasama dengan pemerintah. Kaau
kondisi kejumudan ini terus berlangsung, dikuat artikan hukum Islam hanya
sebatas teori-teori yang menumpuk dalam ribuan kitab dan buku. Memasuki era
gobalisasi ini banyak masalah yang harus direspons oleh hukum islam, seperti
pencemaran lingkungan, pengelolaan sampah, kekerasan dalam rumah tangga,
ketenaga kerjaan, ilegal logging, dan lain-lain.
     

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *