Kamis, November 21, 2024
KuliahUlumul Hadits

Hadis Dari Sudut Etimologi Dan Terminologi (Tugas)

Pengertian secara Etimologi dan Terminologi

a.1 Pengertian Hadis dari sudut Etimologi

Secara etimologi al-hadis seringkali  dimaknai
dengan pengertian baru (al jadid) dan berita (al
khabar). Kedua arti yang menyertai istilah hadis ini dapat dipergunakan secara
bersamaan  tergantung pada konteks kalimat yang dikandungnya. Kata hadis
berasal dari bahasa arab, yakni al hadis, jama’nya al ahadis, al
hidsan dan al hudsan.
Dari segi bahasa kata ini memiliki banyak arti,
di antaranya :1) al Jadid ( baru ) lawan dari al qadim ( lama ) dan 2) al
khabar (kabar atau berita).
Secara umum kata al hadis
senantiasa mengandung pengertian ‘berita’ atau ‘informasi’ baik
pengertian tersurat maupun yang tersirat.  Seperti kesaksian ayat berikut
ini:

Artinya : “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al
Quran itu jika mereka orang-orang yang benar“

 

Kata ‘bi-hadis-in’ pada ayat tersebut bermakna ucapan, ungkapan
dan berita apa saja yang sekiranya bisa menandingi ucapan, ungkapan dan berita
yang terdapat di dalam al qur’an. Begitu juga dengan kesaksian ayat berikut ini
:

 

Artinya: “Allah telah menurunkan ‘Perkataan yang paling baik’ (yaitu)
Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang*, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang
kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan
kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang
disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun”

 

Kalimat ahsanal hadis dalam ayat tersebut sekalipun konteksnya merujuk
pada makna al qur’an, akan tetapi secara substansial mengandung
pengertian ungkapan, ucapan dan berita apa
saja yang berasal dari Allah SWT.

Di sisi lain ada alasan yang cukup rasional mengenai penggunaan
kosakata al hadis untuk memaknai segala hal yang berasal dari
Nabi. Ibnu Hajar al Asqalaniy mensinyalir pemilihan istilah itu lebih
disebabkan oleh adanya al Qur’an yang dalam studi ilmu-ilmu
keislaman dianggap sebagai sesuatu yang bersifat Qadim. 
Sementara al
hadis sendiri secara substansi dan esensial memiliki konotasi  baru [al
jadid]. 
Sehingga para ulama nampaknya berusaha untuk memperbandingkan
materi al hadis yang baru [Jadid] dengan materi al qur’an yang qadim.
Jumhur muhadisin  sepakat untuk menghindari pengunaan istilah al Qur’an
dengan hadis Allah 
حديث الله  )  karena 
materi  istilah  al hadis  memiliki  muatan 
makna   baru. Sehingga untuk menyebut firman Allah yang terangkum
dalam al qur’an itu, mereka lebih terbiasa memakai istilah kalam Allah (  
كلام الله  ).
Keengganan pemakaian istilah itu tentunya cukup beralasan,
mengingat kalam Allah itu qadim dan bukannya baru, sebagaimana
sifat yang melekat pada materi al hadis. Meskipun sebenarnya al Qur’an sendiri
tidaklah begitu alergi untuk menggunakan istilah al hadis terhadap wahyu-wahyu
yang diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Bukti pembenar terhadap
pernyataan ini adalah bahwa ayat al qur’an mengulang sebanyak 23 kali
penggunaan lafaz al hadis,

Sungguhpun demikian penggunaan al hadis untuk menamai segala hal yang
berpautan dengan diri Nabi itu  sebenarnya secara historis bisa ditemukan.
Dalam hal ini sesungguhnya imam Bukhari telah merekam peristiwa penggunan
istilah al hadis oleh Nabi dalam salah satu halaman kitab shahihnya, yakni
dalam kitab ar riqaq hadis no.51. Bahkan Nabi sendirilah yang
memperkenalkan istilah al hadis itu sendiri (Shalih,1988:5)

 

a.2 Pengertian Hadis dari sudut Terminologi dan Ikhtilaf Jumhur

Muhadisin dalam mendefinisikan Hadis.

 

Al Hadis sendiri secara terminologi seringkali  didifinisikan
sebagai :

 

كل ما  أثر عن  الرسول
صلى الله عليه و سلم  من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة
سواء كان ذلك قبل البعثة أم بعدها

 

artinya :”Segala
sesuatu yang disandarkan atau dinukilkan dari Nabi Muhammad saw baik itu beru
perkataan, perbuatan, penetapan sifat -baik jasmani maupun rukhani-atau segal
perilaku Nabi secara keseluruhan apakah sebelum menjadi Rasul atau sesudah jadi
Rasul”

 

atau sebagaimana yang didefinisikan oleh Dr. Nuruddin ‘Atr:

 

كل ما اضيف الى النبى صلى الله
عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقي أو خلقي أو اضيف الى الصحابى او
التابعى

Artinya : segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa
ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat jasmani ataupun ruhani termasuk juga segala
sesuatu yang disandarkan kepada shahabat dan Tabiin ( ‘Atr, 1994:9)

 

Memperhatikan definisi di atas akan didapatkan suatu kesimpulan bahwa
berita apa saja yang menyangkut kepribadian  nabi dengan tanpa 
memperhatikan   apakah  berita itu menginformasikan peristiwa
pra-nubuwwah ataupun pasca nubuwwah, maka informasi itu bisa disebut sebagai al
hadis. Demikian pula terhadap seluruh aktifitas nabi baik yang mengindikasikan
hukum atau tidak, kebiasaan perilaku hidup beliau sebagai manusia biasa, dan
seluruh sifat dan bentuk jasmani Nabi dapat dimasukkan dalam pengertian al
hadis.

Ada satu fenomena menarik menyangkut penggunaan istilah hadis di atas.
Sebagian pengkaji dan pemerhati  studi  ulumul hadis  
merasakan  adanya satu keganjilan  berkaitan dengan redaksi
terminologi hadis di atas. Ketika materi hadis benar-benar dicermati maka akan
didapatkan suatu kesimpulan bahwa tidak semua hadis Nabi itu mendokumentasikan
dan mendiskripsikan suatu informasi yang benar- benar berbicara tentang Nabi.

Kadangkala sesuatu yang dianggap sebagai hadis Nabi, justru
menginformasikan suatu peristiwa yang menyangkut sahabat Nabi. Dengan kata lain
“hadis” tersebut lebih merupakan preseden yang ditinggalkan sahabat ketimbang
sesuatu yang layak disebut sebagai hadis Nabi. Bahkan suatu peristiwa yang
menyangkut pertikaian sahabat tentang proses pemilihan khalifah (  
الأستخلاف)
sepeninggal nabi antara Bani Hasyim, Anshar dan Muhajirin, ditulis oleh para
ulama dalam kitab-kitab hadis karangan mereka. Betapapun para ulama itu juga
menyadari bahwa sesungguhnya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan aksi-aksi yang muncul dari pribadi Nabi. Akan tetapi ini adalah suatu
fakta yang tidak bisa diingkari kebenarannya.

Oleh karena itu sebagian ulama melakukan redefinisi terhadap materi
hadis dengan mengusulkan suatu terma baru yang lebih bisa meliputi aspek-aspek
yang tidak bisa dijangkau oleh definisi sebelumnya. Salah satu definisi yang
mereka ajukan adalah bahwa hadis itu disamping suatu berita yang menyajikan
tentang hal ihwal Nabi, maka ia juga termasuk memuat preseden-preseden yang
ditinggalkan oleh para sahabat dan tabi’in. Sehingga umat islam tidak perlu
membuang sebagian halaman dari karya–karya para ulama yang tidak memiliki
relevansinya dengan perihal Nabi Muhammad.

Sementara itu as Sunnah seringkali dianggap memiliki
kesamaan arti dengan al hadis. Sungguhpun secara etimologi penggunaan istilah
as sunnah untuk menyebut suatu informasi tentang nabi amat mungkin untuk
diperdebatkan. Hanya saja secara umum umat islam sudah terbiasa untuk memaknai
as sunnah sebagai sejajar dengan al hadis.

Mahmud Syaltut (l966;499) menyebutkan pengertian   as
sunah   menurut etimologi disertai adanya kesaksian al qur’an tentang
penggunaan makna as sunnah. Menurutnya :

 

السنة كلمة قديمة معروفة فى اللغة العربية  بمعنى الطريقة المعتادة حسنة كا نت أم سيئة و قد وردت فى القران الكريم فى مواضع متعددة بمعنى العادة المستمرة فقال تعالى : قد خلت من قبلكم سنن و قال عزوجل: السنة من قد أرسلنا قبلك من رسلنا وقال سبحانه : قد مضت سنة الأولين وقوله عز وجل : ولن تجد لسنة الله تبديلا

Artinya :

As Sunnah adalah ungkapan lama yang sudah terkenal dalam bahasa arab
yang memiliki arti ‘jalan yang biasa dilalui’ (perangai, metode, cara, perilaku
dll)  tanpa ada perbedaan kualitasnya baik atau jelek. Dan al qur’an
sendiri telah sering menggunakan istilah as Sunnah ini dalam berbagai tempat
dengan arti ‘kebiasaan yang terjadi secara berulangkali’. Sebagaimana firman
Allah : Sungguh telah berlalu kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kamu…juga
sebagaimana terdapat dalam ayat lainnya: sungguh telah berlalu kebiasaan
orang-orang sebelumnya dan firmanNya lagi : tiada lagi pengganti
‘ketentuan/kebiasaan yang telah diberlakukan Allah.

Menyimak ungkapan yang digunakan oleh Mahmud Syaltut di atas, dapat
difahami bahwa pada dasarnya as sunnah adalah suatu adat kebiasaan, suatu pola
tingkah laku yang secara berulang-ulang dikerjakan oleh satu generasi tertentu
dalam masyarakat Arab lama. Adat kebiasaan dan pola tingkah laku tersebut tidak
pasti berupa nilai-nilai yang sifatnya positif akan tetapi setiap bentuk
perilaku –baik yang positif maupun negatif- selama itu dikerjakan secara
berulang-ulang, maka ia disebut sebagai as sunnah.    
Adapun kalimat yang digunakan untuk memaknai setiap perilaku yang dikerjakan
secara berulang-ulang itu telah mereka kenal sejak lama dengan istilah as
sunah.
 Al qur’an sendiri menggunakan ungkapan as sunnah secara
berulang-ulang sebanyak 16 kali, masing-masing memiliki makna peraturan
yang sudah mapan
model kehidupan dan garis sikap (Azami,1977:20).

Ulama  muhadisin menganggap as sunnah adalah
satu hal yang identik dengan al hadis. Mereka tidak mendapatkan adanya unsur
yang bisa membedakan antara pengertian as sunnah dengan al hadis. Sehingga
jika  jumhur muhadisin menggunakan istilah as sunnah dalam karya-karya
yang mereka munculkan, maka makna yang dimaksud adalah  al hadis itu
sendiri, yakni suatu informasi yang berasal dari nabi baik berupa 
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat jasmani maupun ruhani  baik qabla
bi’sah
 ( sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat jadi Rasul ) maupun ba’da
bi’sah 
( sesudah beliau diangkat menjadi rasulullah ). Mereka tidak
melakukan perincian apakah hadis itu harus  berkenaan dengan hukum,
politik,  ekonomi, sejarah, sosio-humanistik ataupun sosio-religius. Bagi
mereka yang bisa membedakan pengertian antara hadis-sunnah dan  informasi
yang bukan hadis-sunnah,  adalah semata-mata penyandaran informasi itu.
Jika suatu informasi berujung pada informasi tentang nabi, maka berita itu bisa
disebut sebagai as sunnah ataupun al hadis. Begitu  pula sebaliknya jika
sebuah informasi tidak berbicara tentang Nabi, sahabat ataupun tabi’in, maka
fakta semacam itu tidak bisa disebut sebagai al hadis atau as sunnah.

Amat berlainan dengan pendapat yang berkembang di kalangan jumhur
Usuliyyin
. Mereka menganggap bahwa antara as sunnah dengan al hadis adalah
dua istilah yang jelas berbeda. Menurut mereka as sunnah adalah segala
informasi yang berasal dari nabi yang bukan termasuk wahyu (al qur’an) baik
berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan yang patut untuk dijadikan sebagai
dalil syar’iy.  Suatu dalil yang bisa digunakan sebagai alasan penetapan
hukum-hukum syar’iy.  Jadi as sunnah tidaklah sekedar sepotong sejarah
yang melukiskan tentang aksi-aksi nabi belaka, tetapi lebih dari itu as sunnah
adalah suatu informasi tentang nabi yang memiliki fungsi sebagai hujjah 
atau dengan kata lain as sunnah haruslah informasi yang memiliki unsur-unsur
yang bernilai argumentatif. Adapun istilah al hadis bagi golongan ushuliyyun
adalah informasi yang hanya dikenakan terhadap “ucapan Nabi” saja –dengan kata
lain hadis dikalangan mereka adalah Sunnah Qauliyah.

Sementara itu di kalangan Jumhur Fuqaha, as sunnah
didefinisikan sebagai  suatu nilai syari’ah yang tidak diwajibkan dan
tidak diharamkan oleh agama. Ia adalah suatu perintah agama yang dianjurkan
oleh syari’ untuk dilakukan, hanya saja tidak diikuti suatu   celaan,
cercaan dan ancaman siksa bagi manusia yang tidak bersedia untuk
melaksanakannya.  Dengan kata lain perintah yang dikandung dalam
materi  “sunnah” tidak secara imperatif harus diwujudkan. Nilai yang
dikandung as sunah bagi mereka adalah adanya unsur kecintaan umat kepada Nabi
Muhammad saw. Manusia yang senantiasa menghiasi seluruh amal ibadahnya dengan
praktek-praktek yang bernilai sunah berarti itu merupakan bukti bagi kecintaan
umat terhadap Nabi Muhammad saw

Perbedaan ta’rif yang dirumuskan oleh tiga kelompok ulama itu,
sesungguhnya berawal dari cara pandang yang berbeda dan kepentingan tujuan
ilmiah yang berbeda pula. Jumhur Muhadisin merumuskan difinisi as sunnah
berdasarkan kualitas pribadi Nabi   muhammad SAW sebagai contoh yang
ideal  (  
الأسوة الحسنة    ) 
 sebagai pribadi yang memiliki suri tauladan yang umat diharapkan patuh
dan tunduk tanpa reserve. Sehingga ucapan dan segala tingkah laku Nabi harus
diikuti secara total tanpa  memerinci tindakan mana dari perilaku Nabi
yang mengandung perintah wajib, haram, rukun, syarat dan sebagainya. Praktek
Nabi seharusnya di baca sebagai suatu totalitas yang menghendaki ketaatan yang
sempurna, melihat posisi nabi sebagai rasul, wakil Allah yang menuntun umat
islam pada kebenaran hakiki. Oleh karena itu tindakan manapun dari nabi,
pastilah mengandung nilai kebenaran dan umat islam patut untuk sungguh-sungguh
mencontoh perilaku beliau tersebut. Berangkat dari pemahaman seperti inilah
jumhur muhadisin menyusun formula as sunnah sebagaimana yang telah
didefinisikan di depan.

Ulama Ushuliyyun justru menempuh cara yang berbeda di ketika mambangun
postulat dasar bagi  as sunnah. Posisi  Nabi sebagai musyari’ dijadikan
titik sentral proses penyusunan ta’rif as sunnah di kalangan mereka. Nabi
dipandang sebagai satu-satunya pribadi yang berkuasa untuk menentukan dan
membentuk hukum syar’iy dengan  di bingkai semangat al Qur’an dan atas
petunjuk serta bimbingan wahyu yang senantiasa ada dalam kendali Allah SWT.
Setiap tindakan Nabi memiliki kemungkinan potensi-potensi yang berasal dari
unsur basyariyyah dan ilahiyyah. Tindakan yang
berasal dari unsur ilahiyyah mengindikasikan adanya suatu
perintah untuk meniru dan mencontoh perilaku nabi sebagai bentuk kecintaan dan
ketaatan pada beliau. Sementara potensi basyariyyah Nabi
Muhammad tentunya tidak menjadi kewajiban bagi umat islam untuk menirunya.

Mahmud syaltut (l966:508) menyebutkan ada tiga  ciri yang bisa dikenali
untuk mendeteksi mana diantara hadis nabi yang patut dijadikan dalil atau hanya
sekedar sebuah hadis yang berupa rekaman kehidupan nabi sebagai manusia biasa.
Beliau mengatakan bahwa di antara ciri yang bisa membedakan antara hadis nabi
yang patut jadi dalil dan tidak adalah :

احدها ما سبيله سبيل الحاجة البشرية  كلأكل والشرب والنوم والمشى والتزاور و المصالحة  بين  شخصين  بالطرق  العرفية و الشفاعة  و المساومة  فى  البيع  و الشرأ

ثانيها ما سبيله سبيل التجارب و العادة  الشخصية  أو  الإجتماعية  كالذى  ورد فى شئون الزراعة والطب وطول اللباس وقصره

ثالثها ما سبيله التدبير الإنسانى أخذا من الظروف الخاصة  كتوزيع الجيوش على المواقع الحربية و تنظيم الصفوف  فى الموقعة الواحدة والكمون والكر والفر واختيار أماكن النزول وما الى ذلك مما يعتمد على وحي الظروف و الدرابة الخاصة

Berdasarkan paragraf di atas dapat disimpulkan bahwa hadis Nabi yang
memiliki kesan dan konteks perilaku beliau sebagai manusia biasa, seperti
makan, minum, tidur bukan termasuk sunnah yang secara ketat harus diikuti
sebagai teladan (uswah hasanah). Begitu juga dengan kebiasaan yang secara
naluri terdapat pada pribadi seseorang atau sekelompok manusia pada umumnya
seperti cara-cara mengolah lahan pertanian, metode pengobatan dan model pakaian
umpamanya, maka ia bukan termasuk sunnah. Termasuk juga kebisaan manusia dalam
kehidupan sosiologi kemasyarakatan seperti mobilisasi pasukan perang, strategi
dalam peperangan, kebijakan dalam suksesi politik dan lain-lain, semua itu
tergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Sesuatu perilaku bernilai
sunnah bila ada nilai atau unsure Ilahiyyah di dalamnya, namun apabila unsue
basyariyah lebih dominant, maka bisa dipastikan perilaku/kebiasaan itu bukan
termasuk bagian dari sunnah.  Adapun untuk mengetahui  mana tindakan
Nabi yang berasal dari unsur ilahiyyah dan unsur basyariyyah, salah
satu metoda yang digunakan untuk maksud tersebut adalah dengan meneliti dan
mengembangkan  studi  terhadap  hadis-hadisnya. Hadis Nabi yang
memiliki ‘muatan hukum’ dan menggunakan sighat yang bermakna melarang
dan memerintah sesuatu,  ditengarai  oleh jumhur ushuliyyun termasuk
hadis-hadis yang mengandung nilai “sunah”.

Tengara ini dimunculkan kelompok ushuliyyun dengan satu dasar
argumentasi bahwa  dari jenis hadis yang seperti inilah sebuah hadis
mengandung suatu  dalil atau hujjah yang bernilai syar’iy. Terhadap
hadis-hadis yang hanya menyajikan informasi tentang Nabi tanpa mengandung 
nilai syari’ah  (dalil)  sama sekali, tidak dimasukkan dalam katagori
sunnah. Sifat Nabi merupakan contoh yang cukup signifikan untuk membuktikan
pernyataan ini. Segala sifat dan keadaan emosional nabi  tidak memiliki
imbas hukum sama sekali. Amatlah sulit untuk menilai apakah amarah,
kejengkelan, kebencian dan ketidakpedulian nabi pada sesuatu, menunjukkan nilai
keharaman pada sesuatu tersebut.

Hadis Nabi yang mengindikasikan tentang perilaku beliau yang
bersifat alamiah dan basyariyyah seperti
kantuk , warna kulit, tinggi-rendah jasmani beliau dan hal-hal bersifat
jasmaniyah lainnya, tentunya tidak berimplikasi pada hukum. Jika sunnah
diasumsikan  sebagai contoh ideal dan teladan yang harus didikuti secara
ketat bagi umat islam tentunya itu akan menyulitkan. Setiap manusia memiliki
kondisi fisik yang berlainan dan punya sifat-sifat emosional yang pada tingkat
ekspresi juga berbeda. Keharusan dan kewajiban meniru secara ketat terhadap
kondisi –kondisi yang dimiliki oleh Nabi adalah hal yang mustahil disamping
mengingkari kenyataan juga  tidak rasional. Oleh karena itu Sunnah yang
ideal – dimana umat islam dituntut untuk mengikutinya- adalah hadis-hadis Nabi
yang mengandung muatan perintah dan larangan untuk mengerjakan dan tidak
mengerjakan sesuatu. Maka parameter yang digunakan untuk mengetahui suatu
perintah dan larangan nabi adalah dengan meneliti hadis-hadis nabi yang pantas
menjadi dalil dan yang tidak patut  menjadi dalil. Hadis yang mengandung
dalil maka ia masuk katagori as sunnah.

Sementara itu jumhur  fuqaha berdasarkan disiplin ilmu yang
dikuasainya memandang as sunnah merupakan satu bagian dari apa yang dikalangan
fuqaha disebut sebagai  “Panca Hukum”  atau  (
الأحكام الخمسة.) Istilah
ini lebih merupakan istilah tekhnis fiqh yang dikembangkan fuqaha untuk membagi
setiap perbuatan manusia dalam lima kategori. Semua tindak tanduk umat islam
haruslah dibingkai dalam lima kategori tersebut. Sehingga menjadi jelas bagi
umat islam mana perbuatan yang wajib, haram dan yang sebaiknya dikerjakan
dengan merujuk pada panca hukum yang telah disistemisasikan   oleh
jumhur fuqaha dalam karya-karya yang mereka terbitkan.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan ta’rif yang terjadi
dikalangan ulama muhadisin, ushuliyyin dan fuqaha lebih disebabkan oleh sudut
pandang yang berbeda di dalam melihat sosok Nabi Suci, Muhammad SAW. Jumhur
muhadisin melihat pribadi  nabi sebagai sosok rasul -utusan Allah- penyampai
pesan-pesan keagamaan dan merupakan pemangku amanah ilahiyah yang telah
ditentukan oleh Allah. Sementara ulama ushuliyyun cenderung melihat nabi
sebagai pemegang otorita hukum  (  
الشارع  
) yang mendapatkan wewenang dari syari´ yang sesungguhnya yakni Allah SWT. Oleh
karena itu hanya tindakan nabi yang berasal dari kapasitas beliau sebagai
pemegang otorita hukum itulah, yang patut untuk dianggap sebagai as sunah.
Berbeda halnya dengan jumhur fuqaha mereka tidak melihat pribadi nabi sebagai
tolok ukurnya, akan tetapi mereka lebih memperhatikan pada obyek hukum
perbuatan manusia itu sendiri. Terhadap seluruh perbuatan manusia itu, perlu
diadakan pemilahan antara perbuatan yang boleh, haram dan harus dilakukan.
Sementara as sunah merupakan salah satu bentuk pengklasifikasian perbuatan
hukum manusia dalam islam.

Menilik hadis nabi yang berbunyi :

من سن سنة حسنة  فله أجر و أجر من عمل بها الى يوم القيامة و من سن سنة سيئة فعليه وزر و وزر من عمل بها الى يوم القيامة

artinya:”Barangsiapa (memperkenalkan) sunnah yang baik maka baginya
pahala dan begitu pula ia akan mendapatkan pahala dari orang yang
mengerjakanannya sampai pad ahari kiamat. Dan barangsiapa memperkenalkan sebuah
sunnah yang buruk maka baginya dosa dan dosa itu ditanggungnya dari orang yang
ikut mengerjakannya ampai akhir kiamat

Maka bisa diambil suatu   kesimpulan  bahwa
praktek-praktek aktual yang bisa dianggap sebagai sunnah, tidaklah
melulu berupa apa yang disandarkan kepada Nabi saja. Akan tetapi apa saja
perbuatan dan pola tingkah laku yang secara aktual dilaksanakan secara ketat
dan berulang-ulang oleh suatu masyarakat tertentu bisa disebut sebagai as
sunnah
. Fazlurrahman (1983: 40) berdasarkan ucapan al ‘Auza’i yang terlibat
perdebatan sengit dengan Abu Yusuf tentang pembagian tanah hasil pampasan
perang, menafsirkan  bahwa semua orang mempunyai peluang untuk menciptakan
suatu sunnah-nya sendiri hanya saja dari sekian banyak sunnah,
hanya sunnah Nabi yang patut untuk diikuti dan diteladani.

Senada dengan Fazlurrahman, Ahmad Hassan (1994 : 91) menyimpulkan
perdebatan sengit yang terjadi diantara Abu Yusuf dengan al Auza’i itu, pada
akhirnya memunculkan kesan bahwa orang lain dapat saja menciptakan sebuah
sunnah yang baru.
Menurut
Abu Yusuf perkecualian terhadap aturan-aturan yang bersifat umum dapat disebut
sebagai as sunnah. Maka dimungkinkan bagi setiap umat islam untuk menciptakan
sunnahnya sendiri menurut apa yang ia anggap baik dan memang diperlukan.
As sunah
tidaklah merupakan satu-satunya hak prerogatif yang melekat hanya pada diri
nabi.

Sesungguhnya istilah as sunah secara tak langsung memiliki arti praktek
yang bersifat normatif, atau model perilaku, terlepas dari apakah perilaku itu
bercirikan kebaikan atau malah justru sebaliknya, mengandung hal-hal yang
bermuatan kejelekan, dari seseorang individu, kelompok atau masyarakat
tertentu. Arti inilah yang bisa dimunculkan berdasarkan pemberitaan hadis nabi
di atas. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa istilah as sunah hanya bisa
digunakan terhadap preseden yang berasal hanya dari nabi saja tidak dapat
dibenarkan. Satu istilah tekhnis lainnya kadang sempat muncul dalam kamus para
cendekiawan muslim klasik menyangkut penggunaan arti sunnah, yakni sunatullah. Ahmad
Hassan (1970:76) sambil merujuk pada kandungan al qur’an  surat ke 17 ayat
77 dan surat ke 33 ayat 62, mensinyalir bahwa sunatullah adalah suatu cara
dimana Allah bertindak terhadap generasi-generasi masa lalu. Suatu tindakan
yang berindikasikan pada tradisi dan adat istiadat lama bangsa arab, Serta cara
Allah bertindak terhadap cara kerja alam semesta sehingga alam bisa bekerja
dalam wilayah yang sifatnya naluri belaka.

Penulis-penulis barat utamanya kaum orientalis, telah menciptakan
gambaran semu dan menyesatkan dengan mengatakan bahwa sunnah rasul tak lebih
hanyalah nama lain bagi sunah bangsa arab pra-islam. Bahkan lebih dari itu
konsep sunah rasul adalah konsep  baru yang pada generasi awal masyarakat
islam, ia hanyalah preseden dari suatu kelompok masyarakat tertentu, terutama
sekali dari kalangan bangsawan, pembesar istana, kaum cedik pandai  dan
tokoh-tokoh keagamaan-politik yang mendapatkan pengakuan dalam sistem
masyarakat patrialkhal bangsa arab. Oleh karena itu sunah berarti sekedar
praktek yang dijalankan oleh umat islam lama dan telah berlaku secara 
mapan dan ajeg ditaati oleh masyarakat pendukungnya dengan ketat.

Bagaimanapun ragam-kontradiksi yang berkembang di ketika  menyoroti
istilah sunah, umat islam tidak bergeser sedikitpun pada pengertian semula
bahwa yang dimaksud dengan sunnah adalah segala hal yang memiliki sangkut paut
dengan Nabi Suci islam, dan menjadi kewajiban bagi umat islam untuk
mempelajarinya, mengikutinya dan menerjemahkanya dalam kehidupan yang nyata.

Satu istilah lainnya yang sering dianggap oleh para ulama memiliki
kesamaan makna dengan al hadis adalah al khabar. Betapapun tinjauan
filologi bisa membantah pendapat para ulama tersebut, tak kurang seluruh jumhur
muhadisin menerima pendapat yang sudah mapan itu. Sehingga tidak diketemukan
adanya perselisihan yang marak berkaitan dengan penggunaan istilah tekhnis al
khabar untuk dijadikan padanan bagi istilah al hadis. Satu hal yang menjadi
catatan penting, bahwa hanya ulama khurasan-lah yang memiliki  pengertian
yang berbeda menyangkut penggunaan istilah al khabar ini. Menurut  mereka
al khabar lebih tepat digunakan untuk menunjuk pada berita-berita dan preseden
yang berasal dari para sahabat,  sementara terhadap tradisi yang diwariskan
oleh generasi tabi’in bisa digunakan istilah al Atsar. Sebagian
ulama membedakan pengertian al hadis dengan al  khabar dengan alasan bahwa
tidak setiap khabar itu bernilai hadis, berbeda halnya dengan al hadis, karena
setiap  al hadis pastilah khabar.

Perbedaan lain yang berkaitan dengan penggunaan istilah as sunah dan al
hadis    bagi jumhur muhadisin adalah jika kata-kata  al
hadis disebut secara mutlaq maka pengertian  
yang     dituju  adalah   segala  
sesuatu  yang berasal dari nabi semenjak beliau di angkat sebagai seorang
rasul (ba’da al bi’tsah) baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya.
Dengan demikian pengertian as sunah sesunguhnya lebih luas dan umum daripada as
hadis karena bagi muhadisin as sunah menyangkut segala peristiwa  yang
menyangkut pribadi beliau baik qabla maupun ba’da bi’tsah.

Sementara al hadis dikalangan jumhur ushuliyyun
dimaknai sebagai as sunah qauliyah tidak meliputi perbuatan
dan ketetapan beliau. Jumhur ushuliyyun tidak memasukan sifat nabi
dalam difinisi as sunah dan al hadis sebagaimana pengertian yang dikemukakan
oleh golongan muhadisin. Sikap ini diambil oleh mereka dengan satu alasan bahwa
terhadap sikap yang ditunjukkan oleh nabi itu, umat islam tidak dapat menarik
kesimpulan apakah karakter emosional nabi bisa memiliki imbas hukum atau tidak.
Sangatlah sulit untuk menarik benang merah keridlaan dan kemarahan nabi itu
menunjukkan kebolehan dan larangan beliau terhadap sesuatu yang menimbulkan
emosi beliau tersebut. Oleh karena itu mereka tidak memasukkan sifat nabi sebagai
satu unsur dari as sunah dan al hadis.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *