Kamis, November 21, 2024
Pengantar Studi Islam

Pertumbuhan dan Perkembangan Studi Islam di Negara Muslim

BAB I
PENDAHULUAN
A.   
LATAR
BELAKANG
Studi
islam merupakan salah satu studi yang sudah banyak dibicarakan oleh ilmuan
dunia, baik barat maupun timur. Pembelajaran studi islam mulai dilakukan oleh
orang-orang Prancis pada abad ke-13, dan mulai marak ketika pertengahan abad
ke-19. Studi islam sekarang mulai dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu
favorite. Tidak hanya dunia islam yang mempelajarinya tetapi dunia barat juga, telah
banyak universitas yang membuka fakultas yang khusus mempelajari studi islam.
Pendidikan islam pada dasarnya adalah mewariskan nilai
kebudayaan islam kepada generasi muda dan mengembangkannya sehingga mencapai
dan memberikan manfaat maksimal bagi hidup dan kehidupan manusia sesuai dengan
tingkat perkembangannya. Jika perkembangan pendidikan islam pada masa Rasulullah
adalah merupakan masa penyemaian nilai kebudayaan islam kedalam sistem
kebudayaan bangsa Arab, maka pendidikan islam yang telah berkembang pada saat
ini adalah merupakan pemupukan secara luas nilai dan kebudayaan islam agar tumbuh
dengan subur dalam lingkungan yang lebih luas.
           
Islam adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar manusiawi
dengan landasan petunjuk Allah. Pendidikan islam berarti menumbuhkan dan
mengembangkan potensi fitrah tersebut, dan mewujudkannya dalam sistem budaya
manusiawi yang islami. Sehingga wajar apabila islam menerima budaya yang sesuai
ajaran islam dan menolak semua budaya yang menyimpang dari ajaran yang islami
lalu menggantinya dengan ajaran yang baru yang bersifat islami.
B.    
RUMUSAN
MASALAH
A.    Pertumbuhan
dan perkembangan studi islam di Negara muslim
B.     Pertumbuhan
dan perkembangan Studi islam di Negara barat
C.     Pertumbuhan
dan perkembangan studi islam di Negara asia tenggara
BAB II
PEMBAHASAN
A.   
Pertumbuhan
dan Perkembangan Studi Islam di Negara Muslim
Studi
islam sekarang ini berkembang hampir diseluruh Negara di dunia, baik di dunia
islam maupun bukan negara islam. Didunia islam terdapat pusat-pusat studi
islam, seperti Universitas al-Azhar dimesir dan universitas Ummul Qura di Arab
Saudi.[1]
Di
Indonesia, Studi Islam (Pendidikan Islam Tinggi) dilaksanakan di 14 Institut
Agama Islam Negri (sekarang UIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
perguruan tinggi yang menyelengarakan pendidikan islam tinggi sebagai salah satu
bagian studinya, seperti fakultas agama di universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas
Islam Bandung (UNISBA), dan Universitas Islam Nusantara (UNINUS) di Bandung.[2]
Pusat-pusat Pendidikan Islam
           
Seiring dengan perkembangan penyampaian ajaran islam diluar Madinah, maka
dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai oleh islam, berdirilah pusat-pusat
pendidikan yang dikuasai oleh para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para
penerus sahabat yang berupa tabi’in dan selanjutnya.
           
Pusat pendidikan tersebut tersebar pada wilayah-wilayah berikut :
  1. di
    Kota Mekah dan Madinah (Hijaz)
  2. di
    Kota Basrah dan kufah (Irak)
  3. di
    Kota Damsik dan Palestina (Syam)
  4. di
    Kota Fistat (Mesir).
           
Dalam pusat-pusat pendidikan tersebutlah para sahabat memberikan pelajaran
tentang pengajaran agama islam pada para penduduk setempat maupun para penduduk
yang datang dari daerah lain.
           
Pada masa pertumbuhan islam, terdapat beberapa madrasah yang terkenal, antara lain
:
a.       Madrasah Makkah
Guru pertama yang mengajar di
madrasah ini adalah Mu’ad bin Jabal yang mengajarkan Al-Qur’an, hukum halal dan
haram dalam islam.
           
Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65 – 86 H), Abdullah bin Abbas turut
mengajar ilmu tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Sehingga Abdullah bin Abbas
lah yang membangun madrasah ini menjadi termasyhur keseluruh negeri islam.
 Ketika Abdullah bin Abbas wafat, maka pengajaran dalam madrasah ini
diteruskan oleh para muridnya, antara lain Mujahid bin Jabar seorang ahli
tafsir alqur’an yang diriwayatkanya dari ibnu Abbas, Athak bin Abu Rabbah
seorang ahli fiqih, dan Thawus bin Kaisan seorang fuqaha dan mufti di Makkah.
Kemudian diteruskan kembali oleh Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid al
Zanji.
b.      Madrasah Madinah
           
Madrasah ini lebih termasyhur dari madrasah makkah, karena disini adalah tempat
tinggalnya para sahabat Rasulullah, termasuk Abu Bakar, Umar dan juga Usman.
Diantara sahabat yang mengajar di sini adalah, Umar bin Khattab, Ali bin Abi
thalib, Zaid bin Tsabit adalah sahabat yang mahir dalam bidang qiro’at dan
fiqih, sehingga beliaulah yang mendapatkan tugas untuk penulisan kembali
Al-Qur’an, dan Abdullah bin Umar seorang ahli hadits yang selalu berfatwa
dengan apa yang termaktub dalam hadits dan sebagai pelopor Madzab al Hadits
yang berkembang pada generasi yang berikutnya. Setelah para guru yang dahulu
meninggal maka pengajaran diteruskan oleh para tabi’in, antara lain Sa’ad bin
Musyayab dan Urwah bin Alzubair.
c.       Madrasah Basrah
           
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah antara lain, Abu Musa Al Asy’ari yang
terkenal sebagai ahli fiqih, hadits dan ilmu Al-Qur’an, dan Anas bin Malik yang
termasykhur dalam ilmu hadits. Diantara guru yang mengajar di sini adalah Hasan
Al-Basri seorang ahli fiqih, ahli pidato, dan kisah serta seorang yang ahli
fikir dan tasawauf, dan juga Ibnu Sirin seorang ahli hadits dan ilmu fiqih.
d.      Madrasah Kufah
           
ulama sahabat yang terkenal adalah Ali bin Abi Thalib yang mengurusi masalah politik
dan pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama yang diutus
langsung oleh khalifah Umar, disamping itu beliau adalah seorang ahli fiqih,
tafsir dan banyak meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW.
e.       Madrasah Damsyik
           
setelah negeri Syam menjadi bagian dari negeri islam, maka khalifah Umar bin
Khattab mengirimkan tiga guru agama yang ditempatkan pada tempat yang berbeda,
antara lain Muadz bin Jabal di Palestina, Abu Dardak di Damsyik, dan Ubadah di
Hims. Madrasah ini juga mampu melahirkan imam penduduk syam Abdurrahman
Al-Auza’i yang ilmunya sederajat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f.       Madrsah Fistat (Mesir)
           
Sahabat yang semula mendirikan madrasah ini adalah Abdullah bin Amr Al-As
merupakan seorang yang ahli dalam ilmu hadits. Kemudian guru yang termasyhur
setelah nya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bi
Rabi’ah.
           
Pada masa pertumbuhan pendidikan islam ini terdapat empat orang Abdullah yang
memiliki jasa yang sangat besar dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama yang tersebar
di berbagai kota, antara lain :
  1. Abdullah
    bin Umar di Madinah
  2. Abdullah
    bin Masy’ud di Kuffah
  3. Abdullah
    bin Abbas di Makkah
  4. Abdullah
    bin Amr bin Al-Ash di Mesir
           
Namun para sahabat tersebut tidak menghafal semua perkataan nabi dan tidak langsung
melihat tindakan nabi, sehingga ini memaksa para murid-muridnya untuk belajar
ilmu tidak cukup hanya pada satu ulama. Sehingga mereka harus menjelajahi
beberapa kota untuk melanjutkan pendidikannya.[3]
B.    
Pertumbuhan
dan perkembangan Studi islam di Negara Barat
Kajian
tentang keislaman dibarat sudah ada sejak abad ke-19, ketika sarjana barat
mulai tertarik mempelajari dunia timur khususnya dunia islam. Kalau kita tarik
kebelakang, sejarah dimulainya orang-orang barat mempelajari dunia islam sudah
berlaku sejak abad ke-13, ketika sebuah universitas di Prancis secara besar-besaran
mempelajari karya-karya sarjana islam. Universitas yang menjadi cikal bakal
universitas Paris-Sorbonne ini, secara intensif mengkaji karya-karya para
Filosof muslim, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, dan Ibn Rusyd.
Dulu,
kajian-kajian keislaman dibarat lebih terpokus, terutama, pada bidang filsafat
dan ilmu pengetahuan. Karena itu, yang dipelajari oleh akademi barat pada
awal-awal Renaissance adalah karya-karya para filosof dan saintis muslim. Karya
Ibn Sina, “Al Qanun Fi At-Tib”, misalnya, menjadi rujukan paling penting ilmu
kedokteran di Eropa selama lebih dari 3 abad. Begitu juga buku penting Ibn
Rusyd, “Fasl Al Maqal”, menjadi rujukan kaum tercerahkan di Eropa, untuk
menghadapi dominasi gereja.[4]
Perbedaan
mendasar tradisi kajian islam didunia timur dan barat terletak pada pendekatan
yang digunakan. Di timur, pendekatan lebih berorientasi pada penguasaan
subtansi materi dan penguasaan atas Khazanah keislaman klasik. Adapun Islamic
studies dibarat, kajiannya lebih berorientasi pada islam sebagai realitas atau
penomena social, yakni islam yang telah meyejarah, meruang dan mewaktu.[5]
Pada
era modern ini, kita mendapati dunia akademi barat lebih terbuka pada
cabang-cabang keilmuan islam yang lain. Tidak hanya filsafat dan sains tetapi
juga cabang-cabang ilmu keislaman, seperti Al-Quran, Hadis, Fiqih, Dan Sejarah
Keislaman. Berkembangnya kajian-kajian terhadap ilmu ini, merupakan respon dari
semakin meningkatnya kajian Arkeologis, Antropologis, Historis, dan Sosiologis
di Eropa. Dunia islam, pada abad ke-19 menjadi salah satu ‘ Situs Arkeologis’
yang paling eksotis untuk dikaji. Kajian-kajian tentang al-qur’an, hadis,
fiqih, dan lainnya yang selama ini oleh kalangan muslim diposisikan sebagai
serpihan turats yang dimuliakan, oleh ilmuan barat dikaji secara kritis dan
ditinjau dari aspek-aspek pemanis yang membentuknya.[6]
Studi
tentang keislaman dibarat (yang dilakukan para Oreintalis) berangkat dari
paradikma berpikir bahwa islam adalah agama yang bisa diteliti dari sudut mana
saja dan dengan kebebasan sedemikian rupa. Studi yang mereka lakukan meliputi
sluruh aspek ajaran islam, seperti sejarah, hukum, teologi, al-qur’an, hadis,
tasawuf, bahasa politik, kebudayaan dan pemikiran. Philip K. Hitti, HAR Gibb,
Dan Montgomery Watt banyak memfokuskan pengkajian pada aspek sejarah islam.
Sementara Joseph Schacht menfokuskan pada kajian hukum islam, David power
menfokusskan pada kajian Al-qur’an. Dan A. J. Arberry memfokuskan pada aspek
tasawuf.[7]
Kecenderungan baru studi islam di
barat
Secara
umum, kajian islam di Barat sebelum dekade 70-an diwarnai oleh sikap “curiga”
yang tinggi terhadap ialam. Ini terlihat 
dari karya-karya intelektual para orientalis yang kebanyakan
menyudutkan  islam atau memperlihatkan warna
anti islam. Karya-karya orientalis semacam Goldhizer, Mondgomery Watt, HAR
Gibb, Ricahrd Bell, Jeffery Arthur, an lain-lain memang terkesan  negative terhadap islam. Namun, dua dekade
terakhir terlihat arus balik kecenderungan kajian islam di Barat yang mulai
“melunak”. Ada semacam simpati, kalau bukan sikap protagonis, untuk melihat
islam lebih dekat secara akademis. Perspektif akademis inilah yang mengubah
image orientalis terhadap islam.[8]
Perubahan
mendasar visi kajian islam dikalangan orientalis memang bukan tanpa alasan.
Tampaknya, mereka sudah menemui jalan buntu untuk memahami islam secara
antagonis, mengingat konsekuensi 
logisnya justru kerugian dipihaknya. Serangkaian insiden pemboman dan
munculnya terorisme disejumlah Negara barat yang diduga dimotori oleh kelompak
militant islam telah membuat pihak barat untuk berpikir dua kali dalam
mendekati  islam. Mereka mencoba untuk
memakai pendekatan lainnya yang dianggap lebih rasional, akademis, dan tentunya
berubah keuntungan. Mereka juga tak segan-segan mengeluarkan koceknya untuk
keperluan sponsorship/fellowship bagi mahasiswa-mahasiswa dari dunia islam.
Tujuannya adalah mendekati islam dari perspektif yang saling mengutungkan. Dengan
cara demikian, ada semacam proses simbiosis mutualisme dikalangan dua poros
dunia yang sebelumnya saling mengintai; antara barat dan islam.[9]
Pusat-pusat kajian islam dibarat
Studi
islam dinegara-negara barat diselenggarakan dibeberapa Negara, antara lain sebagai
berikut.
a)      Kanada
Kajian
keislaman di Kanada pertama kali dilakukan di McGill University dengan tokoh
utamanya Wilfred Cantwell Smith. Pusat kajian ini berkembang menjadi sebuah
departemen yang menjadi bagian dari McGill University. Bahkan untuk lebih memperbanyak
hasil-hasil penelitian tentang islam ini, departemen ini mengundang para
peniliti, professor, atau guru-guru besar dari berbagai universitas.[10]
b)      Amerika
Serikat
Di
Amerika, studi-studi islam pada umumnya memang menekankan pada sejarah studi islam,
bahasa islam selain bahasa arab, sastra dan ilmu-ilmu social,yang berada
dipusat studi Timur Tengah atau Timur Dekat.
Di
Chicago, kajian islam diselengarakan di Chicago University. Secara
organisatori, studi islam berada dibawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan
Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lembaga ini, kajian islam lebih
mengutamakan kajian tentang pemikiran islam, bahasa arab, nasakh-nasakh klasik,
dan bahasa-bahasa islam non-arab.[11]
c)      Inggris
Di
Inggris studi islam digabungkan dalam school of Oriental and African
studies  (Fakultas Studi Ketimuran Dan
Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan
Afrika. Salah satu program studinya adalah program MA, tentang masyarakat dan
budaya islam yang dapat dilanjutkan kejenjang doctor.
Dalam
rangka berdakwah dan mengambangkan ajaran islam, serta memberikan pemahaman
yang lebih baik tentang keyakinann seorang muslim, dua universsitas yang cukup
terkenal diinggris membangun pusat penelitian islam. Pembangunan Islamic center
ini didanai oleh salah seorang pembisnis asal Saudi.[12]
d)     Belanda
Salah
satu ilmuan disana menyatakan bahwa studi islam di Belanda sampai setelah
perang dunia ke dua masih merupakan refleksi dari akar anggapan bahwa islam
bermusuhan dengan Kristen, dan pandangan islam sebagai agama tidak patut
dianut. Dinegara ini, kajian islam dilakukan di universtas LEIDEN. Universitas
ini merupakan perguruan tinggi yang sangat intens memperjuangkan kajian islam
menjadi bagian dari lembaga kajian di universitas ini.[13]
e)      Jerman
Di
Jerman, studi islam difokuskan pada kajian-kajian tentang bahasa, budaya dan
agama, yang lebih dikenal dengan seminar orientalis (orientalisches seminar).
Sebagaimana studi ketimuran pada umumnya, studi islam berdiri sendiri terlepas
dari teologi (termasuk misiologi dan tidak terpengaruh oleh polemic dan
apologi).
Tokoh
yang berpengaruh dalam kajian islam pada generasi pertama di jerman adalah
THEODORE NOLDEKE (1836-1930), JULIUS WELLHAUSEN (1844-1918), dan IGNAZ
GOLDZIHER (1850-1921), yang masing-masing dikenal karena penelitian mereka
tentang Al-Qur’an, awal sejarah islam dan perkembangan internal agama dan
budaya islam.[14]
f)       Australia
Studi
islam di Australia dilakukan oleh sebagian orang di Indonesia yang bertujuan
mengamalkan islam. Kajian ini dilakukan dilingkungan mahasiswa muslim Indonesia
yang belajar dibeberapa universitas Melbourne. Disana, mereka tidak bergabung
pada kelompok pengajian manapun karena mereka menganggap satu-satunya tujuan
untuk datang ke Australia adalah belajar.[15]
C.   
Pertumbuhan
dan perkembangan Studi Islam di Asia Tenggara
Islam
diasia tenggara merupakan suatu komunitas muslim penting. Tidak saja karena jumlah
penduduk muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia muslim dengan Indonesia
yang mencapai 80% dari 200 juta tetapi juga karena perkembangan islam di asia
tenggara termasuk paling mengesankan.
Ada
beberapa alasan ‘mengapa islam di asia tenggara mendapat perhatian. Yang
pertama, perkembangan islam di asia tenggara mengesankan, terutama jika
dikaitkan dengan wacana global dunia. Kedua, corak pendidikan pada intelektual
muslim diasia tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu social yang berkembang
di barat, seperti Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra
Muzaffar dan sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan
nilai-nilai normative islam, menjadikan perkembangan islam di asia ternggara
tidak teralineasi dari perkembangan global. Ketiga, islam diasia tenggara
memberikaan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai islam local, yang
mencerminkan suatu pertimbangan budaya, social, dan intelektual antar budaya
local dan islam.
Ada
beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut
tentang islam di Asia tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya, local
dan islam yang telah sekian lama berproses. Kedua, beragamnya corak suku etnis
dan bahasa yang ada ddiasia tenggara dapatt dijadikan sebagai contoh untuk
mengetaui corak local, atau lahirnya islam local diasia tenggara. Ketiga
sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Ventore Of Islam yang begitu
banyak dikutif, terutama keritik tajam dia terhadap Clifford Geertz,
mengusulkan ssuatu kajian islam lintas wilayah dan budaya.
Islam
di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi 2 hal. Pertama, model untuk
menjembatani antara budaya local dan islam, mengingat Indonesia terdiri dari
beberapa etnis budaya. Yang kedua, islam local di Indonesia mungkin bisa di jadikan
model untuk melihat hubungan atara islam dan dunia modern.[16]



BAB III
PENUTUP
A.   
KESIMPULAN
Studi
islam sekarang ini berkembang hampir diseluruh Negara di dunia, baik di dunia
islam maupun bukan negara islam.
Seiring dengan perkembangan penyampaian ajaran islam diluar
Madinah, maka dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai oleh islam, berdirilah pusat-pusat
pendidikan yang dikuasai oleh para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para
penerus sahabat yang berupa tabi’in dan selanjutnya.
Kajian
tentang keislaman dibarat sudah ada sejak abad ke-19, ketika sarjana barat
mulai tertarik mempelajari dunia timur khususnya dunia islam. Kalau kita tarik
kebelakang, sejarah dimulainya orang-orang barat mempelajari dunia islam sudah
berlaku sejak abad ke-13, ketika sebuah universitas di Prancis secara
besar-besaran mempelajari karya-karya sarjana islam. Universitas yang menjadi
cikal bakal universitas Paris-Sorbonne ini, secara intensif mengkaji
karya-karya para Filosof muslim, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, dan Ibn Rusyd.
Islam
diasia tenggara merupakan suatu komunitas muslim penting. Tidak saja karena jumlah
penduduk muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia muslim dengan Indonesia
yang mencapai 80% dari 200 juta tetapi juga karena perkembangan islam di asia
tenggara termasuk paling mengesankan.


[1]
Nasruddin Razak, Islamologi (Dienul
Islam),
Ikhtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1980, Hal 55.
[2] [2]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 41
[4]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 41
[5]
Musahadi,” Islamic Legal Studies Di Dunia
Modern
”, Jurnal Istiqra Volume 4, No. 01, Jakarta, 2005
[6] Rasihon
Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar
Studi Islam,
 Pustaka Setia, Bandung,
2009, Hal 42
[7]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 43
[8]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 43
[9] Rasihon
Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar
Studi Islam,
 Pustaka Setia, Bandung,
2009, Hal 43-44
[10]
Jamali Sahrodi, Metodelogi Studi Islam;
Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam Ala Sarjana Orientalis,
Pustaka
Setia, Bandung, Hal 172.
[11]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 45
[12]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 46
[13]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 47
[14]
Jaques Waardenbyrg, “Studi Islam Di
Jerman”
Dalam Azim Nanji, Peta Studi Islam; Orientalisme Dan Arah Baru Kajian Islam Di Barat, Fajar Pustaka
Baru, Yogyakarta, 2003, Hal. 2-3
[15] Tim
Penyusun, “Studi Islam Di Berbagai Negara”
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006, Hal. 8
[16]
Rasihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus Dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal 54-57

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *