Kamis, November 21, 2024
KuliahPengantar Studi Islam

Pendekatan Studi Islam (Makalah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.   
Latar Belakang
            Sejak awal
permulaan sejarah umat manusia, agama sudah terdapat pada semua lapisan
masyarakat dan seluruh tingkat kebudayaan. Dewasa ini kehadiran agama semakin
dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam kotbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah.[1]
            Tuntutan terhadap
agama seperti itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak
menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang
menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul.
            Kenyataan ini
merangsang timbulnya minat para ahli untuk mengamati dan mempelajari, baik
sebagai ajaran yang diturunkan melalui kewahyuan maupun sebagai bagian dari
masyarakat. Minat orang untuk mengamati dan mempelajari agama itu didasarkan
atas anggapan dan pandangan bahwa agama merupakan sesuatu yang berguna bagi
kehidupan pribadinya dan untuk manusia. Akan tetapi ada juga yang didasarkan
atas pandangan yang negatif dengan anggapan yang sinis terhadap agama karena
baginya agama merupakan khayal, ilusi, dan merusak masyarakat.
            Berkenaan dengan pemikiran tersebut,
penulis akan membahas berbagi pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami
agama, khususnya Islam. Hal demikian perlu dilakukan karena melalui pendekatan
tersebutlah, kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh
penganutnya. Sebaliknya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak
mustahil agama menjadi sulit  dipahami
oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan
masalah kepada selain agama dan hal ini tidak boleh terjadi.
B.    
Rumusan Masalah
1.     
Apa yang
dimaksud dengan pendekatan studi Islam ?
2.     
Pendekatan-Pendekatan
apa saja yang dapat di gunakan untuk memahami studi Islam ?
C.   
Tujuan
Penulisan
1.     
Untuk mengetahui
arti dari pendekatan studi Islam.
2.     
Untuk
mengetahui pendekatan-pendekatan yang dapat di gunakan dalam memahami studi
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   
Pengertian Pendekatan Studi Islam
            Pendekatan adalah
suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seseorag untuk menemukan kebenaran ilmiah.
Dengan kata lain , pendekatan berarti cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[2]
Studi Islam (Islamic Studies), yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai
usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan denagan agama Islam.[3]
Dari dua pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa, Pendekatan Studi Islam
adalah suatu cara kerja untuk memudahkan seseorang mengetahui dan mendalami
Islam secara luas dan menyeluruh agar tidak muncul pola fikir yang dangkal.[4] Jalaluddin
Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma. Realitas keagamaan yang diugkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu tidak ada persoalan apakah
penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik, atau
penelitian filosifis.[5]
B.    
Beberapa
Pendekatan Studi Islam
            Dalam memahami studi Islam ada beberapa pendekatan yang dapat di
gunakan, yaitu sebagai berikut.
1.     
Pendekatan Teologis Normatif
            Secara harfiah,
pendekatan teologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan yang lainnya.[6]
Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui tidak bisa
tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri,
komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat
subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan
ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[7]
            Dari pemikiran
tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan
adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol
keagamaan yang masing-masing bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan
tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang lainnya
sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa
pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya salah, shingga memandang bahwa
paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya. Demikian
pula, paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itu pun menuduh kepada
lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, terjadilah
proses saling mengafirkan, salah menyalahkan, dan seterusnya. Dengan demikian,
antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai.
Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusivisme)
sehingga terjadi pemisahan dan pengotakan.
            Dengan
memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa pendekatan teologi dalam memahami
agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog , parsial, saling
menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan
umat, tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Dengan
pendekatan demikian, agama cenderung merupakan keyakinan dan membentuk sikap
keras dan tampak asosial. Melalui pendekatan teologi ini agama menjadi buta
terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang atau identitas
yang tidak memiliki makna.[8]
            Perbedaan dalam
bentuk formal teologis yang terjadi diantara berbagai mazhab dan aliran teologi
keagamaan adalah merupakan realitas dan telah menyejarah. Pluralitas dalam
perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka saling bermusuhan dan selalu
menonjolkan segi-segi perbedaannya masing-masing secara arogan, tetapi
sebaiknya dicarikan titik persamaannya untuk menuju substansi dan misi agama
yang paling suci yang antara lain mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang
dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling
menolong, saling mewujudkan kedamaian dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat
dirasakan maka fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan.[9]
            Dari uraian
tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan
cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang
diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang bersal dari tuhan, sudah
pasti benar, sehingga tidak perlu ditanyakan terlebih dahulu melainkan dimulai
dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.[10]
            Pendekatan
teologis ini selanjutnya erat kaitannnya dengan pendekatan normatif, yaitu
suatu pendekatan yang memendang agama dari segi ajarannaya yang pokok dan asli
dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam
pendekatan teologis ini agama dilihat sebagi suatu kebenaran mutlak dari Tuhan,
tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini
agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.[11]
  
2.     
Pendekatan Antropologis
            Antropologis
secara sederhana adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan
kebudayaan. Kebudayaan adalah semua produk hasil penelitian, ciptaan serta
kreasi masyarakat baik material maupun non material.[12]
            Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropoogi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam
Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi
pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.
Penelitian antropolgis yaitu induktif dan grounded,
yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya
membebaskan diri dari kungkungan teori-teoriformal yang ada pada dasrnya sangat
abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi
yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis.[13]
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan
agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu
dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan
keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
kemasyarakatan. Sedangakan golongan orang kaya lebih cenderug untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran
tatanan itu menguntungkan pihaknya.[14]
      Melalui pendekatan
antropologis ini, kita melihat bahwa agama ternyata berkolerasi dengan etos
kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyaraka. Dalam hubungan ini, jika kita
ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan
dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.[15]
Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat
agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh
para peneliti sosial keagamaan. Kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz
dalam karyanya The Religion of Java,
dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya
klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi, dan
abangan.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga dapat
melihat hubungan antara agama dan negara (state
and religion).
Seperti negara Turki modern yang mayoritas pendudukna beragama
Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar
kenegaraan yang tidak dapat ditwar-tawar.[16]
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini juga dapat
ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Sigmun Freud (1856-1939) pernah
mengaitkan agama dengan Oedipus Complex, yakni
pengalaman infantile seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan
kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya dengan neorosis.[17]
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut diatas
terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia,
dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsionl dengan berbagai fenomena
kehidupan manusia.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan
informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan
cabang-cabangnya.
3.     
 Pendekatan Sosiologis
         Sosiologis adalah
ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan
antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengrti sifat dan
maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang
memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama tu dalam tiap persekutuan
hidup brsama. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.[18]
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu
ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan serta berbagi gejala social lainnya yang saling berkaitan.[19]
            Selanjutnya,
sosiologi dapat  digunakan sebagai salah
satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena
banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan
tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari sosiologi. Dalam agama Islam dapat
dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi
penguasa di Mesir. Dan mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus
dibantu oleh Nabi Harun,. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan
sekaligus dapat ditemukan hikmhnya denga bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial
peristiw-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya.
Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran
agama.[20]
Dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat
telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam
terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut.[21]
a.    Dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua
sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah . Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah
Al-Islamiyah
yang dikutip Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan
sosial adalah satu berbanding seratus untuk satu ayat ibadah, ada serats ayat muamalah
(masalah sosial).
b.   Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah
adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersama waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan
dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.    Bahwa ibadah mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih
besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu salat yang
dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilanya daripada salat yang
dikerjakansendirian (munfarid) dengan
ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d.   Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya
adalah dengan membayar fidyah dalam
bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami isteri bercampur siang hari
di bulan Ramadhan atau ketika isteri dalam keadan haid, tebusannya adalah
memberi makan kepada orang miskin.
e.    Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang
kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Hadis yang
berkenaan dengan hal ini, yaitu sebagai berikut.
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin,
adalah seperti pejuang dijalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti
orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa.” (HR Bukhari
dan Muslim)
Dalam hadisnya yang lain, Rasulullah Saw. menyatakan sebagai
berikut.
“Maukah kamu aku beritahu derajat apa yang lebih utama daripada
salat, puasa, dan sadaqah (sahabat menjawab), tentu. Yaitu mendamaikan dua
pihak yang bertengakar.” (HR Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Hibban)
Melalui pendekatan sosiologis agama akan agama akan dapat dipahami
dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.
Dalam Al-Quran misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia
dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran
suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua
itu jelas baru dapat dijelaskan apabiala yang memahami nya mengetahi sejarah
sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.
4.     
Pendekatan Filosofis
            Kata filsafat atau
falsafah berasal dari bahasa Arab yag berasal dari bahasa Yunani philosophia
yang berarrti cinta kepada pengetahuan atau cinta kepada kebijaksanaan.[22] Secara
harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada
kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia
, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas,
hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai
kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan
adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah
berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka
mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala  sesuatu yang ada.[23]
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya
berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada
dibalik objek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti
yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai
berbagai merek pulpen dengan kualiatas dan harganya yang berlain-lainan namun
inti semua pulpenitu adalah sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka
tercakuplah semua nama dan jenis pulpen. Contoh lain, kita jumpai berbagai
rumah dengan kualiatas yang berbeda, tetapi semua rumah itu intinya adalah
sebagai tempat tinggal. Kegiatn berfikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan
secara mendalam. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah
merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara
kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam,
radikal, sistematik, dan universal.[24]
Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai kebatas dimana
akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai keakar-akarnaya hingga tidak
ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur
dengan menggunakan metode berfikir tertentu dan universal maksudnya tidak
dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk
seluruhnya.
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan
dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari
ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis
yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita
misalnya membaca buku berjudul Hikmah Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu
yang ditulis oleh Muhammad Al-Jurjawi. Dalam buku tersebut Al-Jurjawi berupaya
mengungkapkan hikmah yang terdapat dibalik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran
agama Islam misalnya mengajarkan agar melaksanakan salat berjamaah. Tujuannya
antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan
orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan
lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba
kekurangan.[25]
Demikian pula kita membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.
Maksudnya bukan sekedar menjadi tontonan atau sekedar mengenangnya, tetapi
bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan menangkap makna filosofis yang
terkandung dibelakang peristiwa tersebut. Kisah Nabi Yusuf yang digoda seorang
wanita bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi
atau kecabulan. Kesimpulan demikian itu bisa terjadi manakala seseorang hanya
memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut tetapi sebenarnya melalui kisah
tersebut Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan
lahiriah dan batiniahsecara prima. Nabi Yusuf telah menujukkan kesanggupannya
mengendaliakan fajrinya dari berbuat maksiat. Sementara lahiriahnya ia tampan
dan menyenangkan orang yang melihatnya. Makna demikian dapat dijumpai melalui
pendekatan yang bersifat filsofis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini
seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat
pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
Melalui pendekatan filosifis ini, seseorang tidak akan terjebak
pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan
susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka
dapatkan dari pengmalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya
sudah haji, sudah menunaikan rukun Isalam yang kelima, dan berhenti sampai
disitu. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di
dalamnya.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan
akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam
memahami ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan diatas.
Namun, pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama oleh
kaum tradisionalis formalitis yang cenderung memahami agama terbatas pada
ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengamalan agama.
5.     
Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.[26]
Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa
itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa
tersebut.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama,
karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkret bahkan berkaitan
dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubugan ini, Kuntowijoyo telah
melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Quran, ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, berisi
konsep-konsep dan bagian kedua ,
berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.[27]
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapansuatu peristiwa. Dari sini,
maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historinya, karena
pemahaman demikian itu akan meyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang
ingin memahami Al-Quran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus
mempelajari sejarah turunnya Al-Quran atau kejadian-kejadian yang mengiringi
turunnya Al-Quran yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu
tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-quran) yang pada intinya berisi sejarah
turunnya ayat Al-Quran. Dengan ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum
tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dan kekeliruan memahaminya.
6.     
Pendekatan Kebudayaan
            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan
diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha)
batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil
kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda
seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala
kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[28]
        Kebudayaan yang
demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat
pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala
di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut di proses
oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita
misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Quran maupun hadis sudah
melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikan, agama menjadi
membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam
bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat
tempat agama berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut
seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.[29]
            Kita misalnya
menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam
produk kebudayaan tersebut, unsur agama ikut berintegrasi. Pakaian model
jilbab, kebaya atu lainnya dapat dijimpai melalui pengamalan agama.
7.     
Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa
seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah
Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena di pengaruhi
oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucap salam,
hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk
kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yanag dapat
dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan
Zakiah Daradjat, tidak akan 
mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan
yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat
pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.[30]
            Dalam ajaran agama
banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang.
Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh,
orang yang berbuat baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu adalah
gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
            Dengan imu jiwa
ini seeorang Akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan
diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama
kedalam jiwa seseorang, sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama
akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
            Kita misalnya
dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya
dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah
sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala
atau sikap keagamaan seseorang.
BAB III
PENUTUP
A.   
Simpulan
            Pendekatan Studi
Islam adalah suatu cara kerja untuk memudahkan seseorang mengetahui dan
mendalami Islam secara luas dan menyeluruh agar tidak muncul pola fikir yang
dangkal.
            Beberapa
pendekatan yang ada dalam studi Islam :
1.     
Pendekatan
Teologis
2.     
Pendekatan
Antropologis
3.     
Pendekatan
Sosiologis
4.     
Pendekatan
Filosofis
5.     
Pendekatan
Historis
6.     
Pendekatan
Kebudayaan
7.     
Pendekatan
Psikologi
            Dengan pendekatan
tersebut, semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog,
antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman
agama yang benar. Di sini, kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli
kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan dapat dipahami semua orang
sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan
demikian, seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan
hidupnya mendapat bimbingan dari agama.


                [1] Rosihon
Anwar, Badruzzaman M. Yunus dan Saehudin, Pengantar Studi Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 71.
                [2] Rosihon
Anwar, Badruzzaman M. Yunus dan Saehudin, Pengantar Studi Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), h. 72.
                [3] Ibid.,
h. 25
                [4]http://stitattaqwa.blogspot.com/2013/01/pendekatan-studi-islam_24.html?m=1. Di kutip pada tanggal 28 September 2013 jam 5:14 P.M.
[5] Rosihan Anwar,
dkk., op. cit., h. 72.
                [6] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 28.
[7] Ibid., h. 28.
[8] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 32.
[9] Ibid., h. 34.
[10] Ibid., h. 34.
[11] Ibid., h. 34.
[12] Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2009), h.
217.
[13] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 35.
[14]
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 36.
[15]
Ibid., h. 36.
[16]
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 37.
[17]
Ibid.
, h. 37.
[18] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers), 1998, h. 38.
[19] Ibid.,
h. 39.
[20]
Ibid., h. 39.
[21]
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 40.
[22] Rosihon Anwar, Badruzzaman M.
Yunus dan Saehudin, Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
h. 86.
[23] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 42.
[24] Ibid.,
h. 43.
[25] Ibid.,
h. 43.
[26] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 46.
[27] Ibid., h.
47.
[28] Rosihon Anwar,
Badruzzaman M. Yunus dan Saehudin, Pengantar Studi Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), h. 92.
[29] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam
, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hlm. 49.
[30] Ibid.,
hlm. 50.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *