Munassabah (Makalah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai
umat islam yang berpedoman pada Al-Qur‟an haruslah mengerti tentang isi
kandungan di dalam Al-Qur‟an. Karena dengan mempelajari isi kandungannya kita
akan memahami dan mengetahui hukum-hukum dan juga syari‟at islam. Dalam
mempelajari Al-Qur‟an ada sebuah ilmu yang namanya Ilmu munasabah. Ilmu
Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang keserasian makna, kesesuaian/
korelasi antara ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam Al-Qur‟an. Karena
itu Ilmu Munasabah sangatlah penting untuk memperdalam pengetahuan kita tentang
isi kandungan Al-Qur‟an. Dengan mempelajari Ilmu Munasabah kita dapat
mengetahui keindahan sastra yang ada di dalam Al-Qur‟an. sehingga niscaya juga
akan memperkuat iman kita terhadap Allah SWT.
umat islam yang berpedoman pada Al-Qur‟an haruslah mengerti tentang isi
kandungan di dalam Al-Qur‟an. Karena dengan mempelajari isi kandungannya kita
akan memahami dan mengetahui hukum-hukum dan juga syari‟at islam. Dalam
mempelajari Al-Qur‟an ada sebuah ilmu yang namanya Ilmu munasabah. Ilmu
Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang keserasian makna, kesesuaian/
korelasi antara ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam Al-Qur‟an. Karena
itu Ilmu Munasabah sangatlah penting untuk memperdalam pengetahuan kita tentang
isi kandungan Al-Qur‟an. Dengan mempelajari Ilmu Munasabah kita dapat
mengetahui keindahan sastra yang ada di dalam Al-Qur‟an. sehingga niscaya juga
akan memperkuat iman kita terhadap Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Munasabah.
2. Latar Belakang Lahirnya Ilmu
Munasabah.
Munasabah.
3. Macam-macam Munasabah.
4. Faedah Ilmu Munasabah.
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian
Munasabah.
Munasabah.
2. Mengetahui Latar Belakang
Munculnya Ilmu Munasabah.
Munculnya Ilmu Munasabah.
3. Mengetahui Macam-macam
Munasabah
Munasabah
4. Mengetahui Faedah Dari Ilmu
Munasabah.
Munasabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Munassabah
Munassabah
1. Menurut Al-Zarkasyi
Munasabah adalah suatu hal yang menghubungkan
dan mengaitkan antara dua kata maupun kalimat, baik secara nalar, indrawi dan
imajinasi maupun secara global dan terperinci yang termasuk dalam cakupan
bentuk-bentuk hubungan.
dan mengaitkan antara dua kata maupun kalimat, baik secara nalar, indrawi dan
imajinasi maupun secara global dan terperinci yang termasuk dalam cakupan
bentuk-bentuk hubungan.
2. Menurut Ibn
Al-Arabi
Al-Arabi
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat
Al-Qur‟an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan
makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
Al-Qur‟an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan
makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
3. Menurut Manna‟
Al-Qaththan
Al-Qaththan
Munasabah (korelasi) dalam pengertian
bahasa berarti kedekatan.
bahasa berarti kedekatan.
Yang
dimaksud dengan munasabah disini ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat
dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam
banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang
munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat
Qur’an secara retorik, kejelasan keteranganya, keteraturan susunan kalimatnya
dan keindahan gaya bahasanya. “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terinci, diturunkan dari sisi Allah yang Mahabijaksana
dan Mahatahu.” (Q.S. Hud: 1).
dimaksud dengan munasabah disini ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat
dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam
banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang
munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat
Qur’an secara retorik, kejelasan keteranganya, keteraturan susunan kalimatnya
dan keindahan gaya bahasanya. “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terinci, diturunkan dari sisi Allah yang Mahabijaksana
dan Mahatahu.” (Q.S. Hud: 1).
Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan
antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena
telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufasir dan
tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Qur‟an, rahasia retorika, dan segi
keterangannya mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya
dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu bahasa arab, maka korelasi
tersebut dapat diterima.
antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena
telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufasir dan
tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Qur‟an, rahasia retorika, dan segi
keterangannya mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya
dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu bahasa arab, maka korelasi
tersebut dapat diterima.
B. Latar Belakang Munculnya Ilmu
Munasbah
Munasbah
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi
(munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa bahwa sistematika Al-Qur‟an
sebagaimana terdapat dalam Mushaf „Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta
kronologis turunya Al-Qur‟an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama‟ salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur‟an. Pendapat pertama
bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan kedua berpendapat
bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah mereka bersepakat
dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga
berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal dan
Al-Bara‟ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara
lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari,
Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar.
(munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa bahwa sistematika Al-Qur‟an
sebagaimana terdapat dalam Mushaf „Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta
kronologis turunya Al-Qur‟an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama‟ salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur‟an. Pendapat pertama
bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan kedua berpendapat
bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah mereka bersepakat
dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga
berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal dan
Al-Bara‟ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara
lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari,
Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar.
Pendapat
kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan
Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab
perbedaan ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama‟ salaf yang urutan suratnya
bervariasi. Ada yang menyusunya berdasarkan kronologis turunya, seperti Mushaf
Ali yang dimulai dengan ayat iqra‟, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan
tempat turunya Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas‟ud dimulai dengan
surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa‟, lalu surat Ali Imran. Atas dasar perbedaan
peendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi Al-Qur‟an
kurang mendapat perhatian dari para ulama‟ yang menekuni Ulum Al-Qur‟an. Ulama‟
yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi,
adalah Syaikh Abu Bakar An-Naisaburi, kemudian diikuti oleh ulama‟ ahli tafsir,
seperti Abu Ja‟far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar Al-Qur‟an. Syaikh
Burhanuddin Al-Baqa‟i dengan bukunya Nazhm Ad-Durarfi Tanasub Al-Ayyi wa
As-Suwar, dan As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar At-Tartib Al-Qur‟an.10
kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan
Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab
perbedaan ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama‟ salaf yang urutan suratnya
bervariasi. Ada yang menyusunya berdasarkan kronologis turunya, seperti Mushaf
Ali yang dimulai dengan ayat iqra‟, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan
tempat turunya Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas‟ud dimulai dengan
surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa‟, lalu surat Ali Imran. Atas dasar perbedaan
peendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi Al-Qur‟an
kurang mendapat perhatian dari para ulama‟ yang menekuni Ulum Al-Qur‟an. Ulama‟
yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi,
adalah Syaikh Abu Bakar An-Naisaburi, kemudian diikuti oleh ulama‟ ahli tafsir,
seperti Abu Ja‟far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar Al-Qur‟an. Syaikh
Burhanuddin Al-Baqa‟i dengan bukunya Nazhm Ad-Durarfi Tanasub Al-Ayyi wa
As-Suwar, dan As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar At-Tartib Al-Qur‟an.10
C. Macam-macam Munasabah
Menurut
Jalaludin As-Suyuthi terdapat tujuh macam munasabah yaitu:
Jalaludin As-Suyuthi terdapat tujuh macam munasabah yaitu:
1. munasabah antara surat dengan surat sebelumnya.
2. munasabah antara nama surat dengan kandungannya.
3. munasabah antara bagian satu surat.
4. munasabah antara ayat yang berdampingan.
5. munasabah antara suatu kelompok ayat di sampingnya.
6. munasabah anatar fashilah dengan isi ayat.
7. munasabah antara penutup satu surat dengan awal surat
berikutnya.
berikutnya.
Menurut Manna‟ Khalil Al-Qattan: Setiap ayat
mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang
menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antara sifat orang mukmin
dengan sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka,
penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran
sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan
sesudah ayat-ayat tentang alam…dst.
mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang
menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antara sifat orang mukmin
dengan sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka,
penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran
sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan
sesudah ayat-ayat tentang alam…dst.
1.
Terkadang
munasabah itu terletak pada perhatianya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah:14 “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia
ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia
dihamparkan ?”(Q.S. Al-Gasiyah: 17-20).
Terkadang
munasabah itu terletak pada perhatianya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah:14 “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia
ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia
dihamparkan ?”(Q.S. Al-Gasiyah: 17-20).
Penggambaran antara unta, langit dan
gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku di
kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka
bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namun keadaan
demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat
menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan minum unta. Keadaan ini terjadi jika
hujan turun. Dan inilah yang menjadi sebab kenapa wajah mereka selalu
menengadah ke langit. Kemudian mereka juga memerlukan tempat untuk berlindung,
dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik daripada gunung-gunung. Mereka
memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun di
daerah yang lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat
gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat di
atas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang
senantiasa tidak lepas dari benak mereka.
gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku di
kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka
bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namun keadaan
demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat
menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan minum unta. Keadaan ini terjadi jika
hujan turun. Dan inilah yang menjadi sebab kenapa wajah mereka selalu
menengadah ke langit. Kemudian mereka juga memerlukan tempat untuk berlindung,
dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik daripada gunung-gunung. Mereka
memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun di
daerah yang lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat
gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat di
atas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang
senantiasa tidak lepas dari benak mereka.
2.
Terkadang
munasabah itu terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya
pembukaan surah Al-An‟am dengan Al-Hamdu. “Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (Q.S. Al-An‟am:
1).
Terkadang
munasabah itu terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya
pembukaan surah Al-An‟am dengan Al-Hamdu. “Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (Q.S. Al-An‟am:
1).
Ini sesuai dengan penutup surat Al-ma‟idah
yang menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasanya: “Jika engkau
menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba engkau, dan jika engkau
mengampuni mereka, sesungguhnya engkaulah yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana…”
(Q.S. Al-Ma‟idah: 118-120).
yang menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasanya: “Jika engkau
menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba engkau, dan jika engkau
mengampuni mereka, sesungguhnya engkaulah yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana…”
(Q.S. Al-Ma‟idah: 118-120).
Hal ini seperti difirmankan Allah: “Dan
diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Az-Zumar: 75).
diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Az-Zumar: 75).
Demikian pula pembukaan surah Al-Hadid yang
dibuka dengan tasbih:19 Pembukaan tersebut sesuai dengan akhir surah Al-Waqi‟ah
yang memerintahkan bertasbih: Begitu juga hubungan antara surah Li ilafi
Quraisy dengan surah Al-Fil. Ini karena kebinsaan “tentara gajah” mengakibatkan
orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas,
sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surah ini termasuk
hubungan sebab akibat seperti dalam firman Allah: “Maka dipungutlah ia (Musa)
oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi
mereka.” (Q.S. Al-Qasas: 8). 3)
dibuka dengan tasbih:19 Pembukaan tersebut sesuai dengan akhir surah Al-Waqi‟ah
yang memerintahkan bertasbih: Begitu juga hubungan antara surah Li ilafi
Quraisy dengan surah Al-Fil. Ini karena kebinsaan “tentara gajah” mengakibatkan
orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas,
sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surah ini termasuk
hubungan sebab akibat seperti dalam firman Allah: “Maka dipungutlah ia (Musa)
oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi
mereka.” (Q.S. Al-Qasas: 8). 3)
Munasabah terjadi pula antara awal surah
dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah
ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan
yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua
orang laki-laki yang sedang berkelahi. Allah mengisahkan doa Musa: “Musa
berkata: Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah engkau anugerahkan kepadaku, aku
sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (Q.S.
Al-Qasas: 17). Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul kita Muhammad
bahwa ia akan keluar dari mekah dan dianjikan akan kembali ke mekah serta
melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir:
dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah
ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan
yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua
orang laki-laki yang sedang berkelahi. Allah mengisahkan doa Musa: “Musa
berkata: Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah engkau anugerahkan kepadaku, aku
sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (Q.S.
Al-Qasas: 17). Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul kita Muhammad
bahwa ia akan keluar dari mekah dan dianjikan akan kembali ke mekah serta
melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir:
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk
melaksanakan hukum-hukum) Qur‟an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat
kembali (yaitu kota mekah). Katakanlah: Tuhanku mengetahui orang yang membawa
petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah
mengharap agar Qur‟an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena
suatu rahmat besar dari Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi
penolong orang bagi orang kafir.” (Q.S.Al-Qasas: 85-86).
melaksanakan hukum-hukum) Qur‟an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat
kembali (yaitu kota mekah). Katakanlah: Tuhanku mengetahui orang yang membawa
petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah
mengharap agar Qur‟an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena
suatu rahmat besar dari Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi
penolong orang bagi orang kafir.” (Q.S.Al-Qasas: 85-86).
Macam-macam Sifat Munasabah:
1.
Persesuaian yang nyata (Dzzahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas,
yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian Al-Qur‟an yang satu
dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan
yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang
sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Contohnya, seperti
persambungan antara ayat 1 surah Al-isra‟:25 “Maha Suci Allah, yang
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha.” Ayat tersebut menerangkan isra‟ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2
surah Al-Isra‟ tersebut juga berbunyi: “Dan kami berikan kepada Musa Kitab
(Taurat) dan kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi bani Israel.” Ayat
tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa. Persesuaian
antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang
Nabi/Rasul tersebut.
Persesuaian yang nyata (Dzzahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas,
yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian Al-Qur‟an yang satu
dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan
yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang
sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Contohnya, seperti
persambungan antara ayat 1 surah Al-isra‟:25 “Maha Suci Allah, yang
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha.” Ayat tersebut menerangkan isra‟ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2
surah Al-Isra‟ tersebut juga berbunyi: “Dan kami berikan kepada Musa Kitab
(Taurat) dan kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi bani Israel.” Ayat
tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa. Persesuaian
antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang
Nabi/Rasul tersebut.
2.
Persambungan yang tidak jelas (khafiyyul Irtibath) atau samarnya persesuaian
antara bagian Al-Qur‟an dengan bagian yang lain, sehingga tidak tampak adanya
pertalian untuk keduanya. Contohnya seperti hubungan antara ayat 189 surah
Al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-baqarah
berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan
tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” Ayat
tersebut menerangkan bulan sabit/ tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan
untuk jadwal ibadah haji. Sedang ayat 190 surah Al-baqarah berbunyi: “Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah
kalian melampaui batas.” Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada
orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut
tidak ada hubunganya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal
sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah
Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surah Al-Baqarah
menerangkan : sebenarnya, waktu haji itu umat islam dilarang berperang, tetapi
jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas,
walaupun pada musim haji.
Persambungan yang tidak jelas (khafiyyul Irtibath) atau samarnya persesuaian
antara bagian Al-Qur‟an dengan bagian yang lain, sehingga tidak tampak adanya
pertalian untuk keduanya. Contohnya seperti hubungan antara ayat 189 surah
Al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-baqarah
berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan
tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” Ayat
tersebut menerangkan bulan sabit/ tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan
untuk jadwal ibadah haji. Sedang ayat 190 surah Al-baqarah berbunyi: “Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah
kalian melampaui batas.” Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada
orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut
tidak ada hubunganya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal
sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah
Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surah Al-Baqarah
menerangkan : sebenarnya, waktu haji itu umat islam dilarang berperang, tetapi
jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas,
walaupun pada musim haji.
Ditinjau
dari segi materinya, maka Munasabah itu ada dua macam:
dari segi materinya, maka Munasabah itu ada dua macam:
1)
Munasabah Antar Ayat. yaitu munasabah atau persambungan antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain. Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan,
di antaranya:
Munasabah Antar Ayat. yaitu munasabah atau persambungan antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain. Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan,
di antaranya:
a.
Diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat
103 surah Ali-Imran: “dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama)
Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Faedah dari
munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua
hal yang sama (An-Nadziraini). Ayat 102 surah Ali-Imran menyuruh bertakwa dan
ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal
yang sama.
Diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat
103 surah Ali-Imran: “dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama)
Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Faedah dari
munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua
hal yang sama (An-Nadziraini). Ayat 102 surah Ali-Imran menyuruh bertakwa dan
ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal
yang sama.
b.
Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munsabah antara
ayat 11 surah Ali-Imran: “(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir‟aun
dan orag-orang yang sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat kami.”
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka pun
tidak menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api
neraka.” Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat kesebelas
dengan ayat sebelumnya ayat kesepuluh, sehingga ayat 11 surat Ali-imran
dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-imran.
Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munsabah antara
ayat 11 surah Ali-Imran: “(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir‟aun
dan orag-orang yang sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat kami.”
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka pun
tidak menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api
neraka.” Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat kesebelas
dengan ayat sebelumnya ayat kesepuluh, sehingga ayat 11 surat Ali-imran
dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-imran.
2) Munasabah Antar surah. Yaitu munasabah atau
persambungan antara surah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya seperti
awalan dari surah Al-An‟am yang berbunyi: “segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi” Awalan surah Al-An‟am tersebut sesuai dengan
akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi: “kepunyaan Allah kerajaan langit dan
bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.”
kedua ayat tersebut terdapat persesuain antara permulaan surah dengan penutup
surah sebelumnya.
persambungan antara surah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya seperti
awalan dari surah Al-An‟am yang berbunyi: “segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi” Awalan surah Al-An‟am tersebut sesuai dengan
akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi: “kepunyaan Allah kerajaan langit dan
bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.”
kedua ayat tersebut terdapat persesuain antara permulaan surah dengan penutup
surah sebelumnya.
D. Faedah Ilmu Munasabah
Faedah mempelajari Ilmu Munasabah ini banyak sekali, antara
lain, sebagai berikut:
lain, sebagai berikut:
1.
Mengetahui persambungan antara bagian Al-Qur‟an, baik antara kalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur‟an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
Mengetahui persambungan antara bagian Al-Qur‟an, baik antara kalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur‟an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
2.
Dengan Ilmu Munasabah itu, dapat diketahui mutu dan kebalaghahan bahasa
Al-Qur‟an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta
persesuaian ayat/ surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih meyakinkan
kemukjizatannya, bahwa Al-qur‟an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT, dan
bukan buatan Nabi Muhammad SAW.
Dengan Ilmu Munasabah itu, dapat diketahui mutu dan kebalaghahan bahasa
Al-Qur‟an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta
persesuaian ayat/ surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih meyakinkan
kemukjizatannya, bahwa Al-qur‟an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT, dan
bukan buatan Nabi Muhammad SAW.
3. Dengan Ilmu Munasabah akan sangat membantu
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, setelah diketahui hubungan sesuatu
kalimat/ sesuatu ayat dengan kalimat/ ayat yang lain, sehingga mempermudah
pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, setelah diketahui hubungan sesuatu
kalimat/ sesuatu ayat dengan kalimat/ ayat yang lain, sehingga mempermudah
pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.
4. Dapat mengetahui/ memahami kondisi dan
situasi yang merupakan latar belakang sesuatu peristiwa.
situasi yang merupakan latar belakang sesuatu peristiwa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Dari paparan singkat di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat keserasian (korelasi) antara satu bagian dengan bagian yang lain. Ilmu
ini sepenuhnya bersifat ijtihady, bukan tauqify. Ada macam-macam munasabah yang
terdapat dalam Al-Qur‟an dimana masing-masing mufasir saling berbeda dalam
memberikan jumlah macam-macam munasabah, ini karena perbedaan pemahaman dan
penafsiran serta sudut pandang yang berbeda pula terhadap korelasi ayat-ayat di
dalam Al-Qur‟an. Maka tidak bisa dipungkiri jika banyak sekali versi tentang
macam-macam munasabah Al-Qur-an. Dengan Ilmu Munasabah kita dapat mengetahui keindahan
dan tingginya sastra yang ada di dalam Al-Qur‟an, sehingga kita yakin bahwa
Al-Qur‟an adalah benar-benar wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW, dan bukan buatan Nabi. Fazlurahman mengatakan: Apabila seseorang ingin
memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Qur‟an, maka ia harus dipahami
secara utuh dan terkait, Al-Qur‟an akan kehilangan relevansinya untuk masa
sekarang dan masa datang. Sehingga Al-Qur‟an tidak dapat menyajikan dan
memenuhi kebutuhan manusia.30 Pesan Manna Al-Qattan : Orang yang membaca secara
cermat kitab-kitab tafsir tentu akan menemukan berbagai segi kesesuaian
(munasabah) tersebut.
ditarik kesimpulan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat keserasian (korelasi) antara satu bagian dengan bagian yang lain. Ilmu
ini sepenuhnya bersifat ijtihady, bukan tauqify. Ada macam-macam munasabah yang
terdapat dalam Al-Qur‟an dimana masing-masing mufasir saling berbeda dalam
memberikan jumlah macam-macam munasabah, ini karena perbedaan pemahaman dan
penafsiran serta sudut pandang yang berbeda pula terhadap korelasi ayat-ayat di
dalam Al-Qur‟an. Maka tidak bisa dipungkiri jika banyak sekali versi tentang
macam-macam munasabah Al-Qur-an. Dengan Ilmu Munasabah kita dapat mengetahui keindahan
dan tingginya sastra yang ada di dalam Al-Qur‟an, sehingga kita yakin bahwa
Al-Qur‟an adalah benar-benar wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW, dan bukan buatan Nabi. Fazlurahman mengatakan: Apabila seseorang ingin
memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Qur‟an, maka ia harus dipahami
secara utuh dan terkait, Al-Qur‟an akan kehilangan relevansinya untuk masa
sekarang dan masa datang. Sehingga Al-Qur‟an tidak dapat menyajikan dan
memenuhi kebutuhan manusia.30 Pesan Manna Al-Qattan : Orang yang membaca secara
cermat kitab-kitab tafsir tentu akan menemukan berbagai segi kesesuaian
(munasabah) tersebut.