Fungsi Hadist Dan Kedudukan Hadist Dalam Pembentukan Hukum (Makalah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an,
hadist mempunyai peran penting yaitu sebagai penjelas dari ayat-ayat
Al-Qur’an namun hadist itu sendiri terbagi menjadi beberapa pengertian,
sedangkan fungsi hadist sebagai penjelas juga ada pembagiannya seperti bayan
tafsir,bayan taqrir, dan bayan tabdil atau nasakh. Selain itu hadist juga
mempunyai kedudukan dalam pembentukan hukum islam. Dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai hal tersebut.B. Rumusan masalah
1. Apa definisi hadist?
2. Apa fungsi hadist ?
3. Apa fungsi hadist sebagai bayan tafsir?
4. Apa fungsi hadist sebagai bayan taqrir ?
5. Apa fungsi hadist sebagai bayan tabdil atau nasakh
?6. Apa kedudukan hadist dalam pembentukan hukum islam
?
C. Tujuan
Untuk mengetahui fungsi-fungsi
hadist,peranan-peranan hadist dan kedudukan hadist dalam pembentukan hukum
islam, serta memperluas pengetahuan tentang ilmu hadist.
BAB II
ISI
A. Fungsi
Hadist terhadap Al- Qur’anSudah kita ketahui bahwa hadist mempunyai
keedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam. Ia menempati posisi kedua
setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajaran-ajaran
yang bersifat umum (global),yang perlu di jelaskan lebih lanjut dan terperinci.
Disinilah hadist menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua.
Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT.,
Artinya : “ Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan. (Q.S. An-Nahl [16] :44)
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an,hadist berfungsi
sebagai penafsir,pensyarah,dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut.Apabila disimpulkan tentang fungsi hadist dalam hubungan dengan
Al-Qur’an sebagai berikut :
1. Bayan
At-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah
menerangkan/memberikan perincian/memberi penjelasan terhadap ayat-ayat yang
bersifat sangat umum,mujmal,dan musytarak. Fungsi hadist dalam hal ini adalah
memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih mujmal(ringkas/singkat),memberikan taqyid (persyaratan/batasan) ayat-ayat
yang masih muthlaq,dan memberikan takshish (mengkhususkan) ayat-ayat yang masih
umum.
Diantara contoh bayan at-tafsir mujmal adalah
seperti hadist yang menerangkan ke-mujmal-an ayat-ayat tentang perintah Allah
SWT untuk mengerjakan sholat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat yang
menjelaskan tentang hal itu masih bersifat global. Contohnya kita diperintahkan
sholat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang tata cara sholat,tidak
menerangkan tentang rukun-rukunnya,dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat
tentang kewajiban sholat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW dengan sabdanya,
Artinya: “ shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat.“ (H.R. Bukhai)
Contoh lain Allah memerintahkan umat islam untuk
berzakat maka hadist menerangkan dengan sangat detail[1].Nabi SAW bersabda tentang zakat emas dan perak,
Artinya :” berikanlah dua setengah persen dari
harta-hartamu.”
Salah satu ayat yang memerintahkan untuk shalat dan
zakat adalah
Artinya :” Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”
2. Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir atau sering juga disebut dengan
bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat adalah hadis yang berfungsi untuk
memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al- Qur’an. Dalam hal ini, hadis ini
hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Contoh bayan
at-taqrir adalah hadis Nabi SAW yang memperkuat firman Allah SWT Q.S.
Al-Baqarah [2]:185, yaitu,
Artinya:” (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)
Ayat bergaris bawah diatas di taqrir oleh
hadis Nabi SAW., yaitu,
Artinya:” Apabila kalian melihat (ru’yat) bulan, berpuaalah,
begitu pula jika melihat (ru’yat) bulan itu,berbukalah..”
Contoh lain adalah Q.S Al-Maidah [5] : 6 tentang
keharusan berwudhu sebelum shalat yaitu,
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Ayat Al-Qur’an yang bergaris bawah diatas di taqrir
oleh hadis Nabi SAW., yakni,Artinya: Rasulullah SAW. bersabda,”Tidak
diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu.”[2]
3. Bayan
An-Nasakh
Secara bahasa,an-nasakh bisa berarti
al-ibthal (membatalkan), al-ajalah (menghilangkan),at-tahwil
(memindahkan), atau at-tagyir (mengubah).
Para ulama,baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin
berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi
karena perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan kata nasakh dari segi
kebahasaan.Menurut ulama mutaqaddimin,yang dimaksud dengan
bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dari
pengertian tersebut,menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan
an-nasakh,dapat dipahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang dapat menghapus
ketentuan-ketentuan atau isi Al- Qur’an yang datang kemudian.Diantara ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis
terhadap Al-Qur’an, juga berbeda pendapat dalam macam hadis yang dapat dipakai
untuk men-nasakh Al-Qur’an, dalam hal ini mereka terbagi kedalam tiga kelompok.Pertama yang membolehkan menasakh Al-Qur’an dengan
segala hadis, meskipun hadis ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh
para ulama mutaqaddimin dan Ibn hazm sebagian besar pengikut Zhahiriah.Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat hadis
tersebut harus muttawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan
hadis masyhur, tanpa harus dengan muttawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang
oleh Hanafiyah.Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para
ulama adalah sabda Rasul SAW. Dari Abu Umamah Al-Bahili,
Artinya : “ sesungguhnya Allah telah memberikan
kepada tiap-tiap orang haknya ( masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi
ahli waris. H.R. Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-nas’i. Hadis ini dinilai
hasan oleh Ahmad dan At-Tirmadzi)Hadis ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an
surah Al-Baqarah [2] : 180, yakni ,
Artinya:” Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat
dekat berdasarkan Q.S. Al-Baqarah [2] : 180 diatas, di nasakh hukumnya oleh
hadis yang menjelaskan bahwa ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.
Kesimpulan
Dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, hadist berfungsi
sebagai:1. Sebagai penguat
hukum atas suatu peristiwa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.2. Sebagai pemberi
keterangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang meliputi:a. Merinci ayat yang
berswifat globalb. Membatasi
kemutlakkan suatu ayat, danc. Membawa hukum
baru yang tidak di tetapkan dalam al-Qur’an.
B. Kedudukan Hadist dalam pembentukan Hukum Islam
Ditinjau dari segi kekuatan hukum untuk dijadikan
sebagai sumber didalam ajaran islam,hadist dibagi menjadi tiga macam yaitu:Hadist Shahih, yaitu hadist Nabi Muhammad SAW yang
memenuhi kriteriasanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil
dan dhabith, serta didalamnya tidak ditemukan adanya syadz dan ‘illat.
BAB III
PENUTUP
[1] M.Agus Solahudin,Agus Suyadi.Ulumul
Hadis.Bandung: Pustaka Setia.2009.hlm78-79[2] M.Agus Solahudin,Agus Suyadi.Ulumul
Hadis.Bandung: Pustaka Setia.2009.hlm.82-83