Kamis, November 21, 2024
KuliahUlumul Hadits

Definisi dan Klasifikasi Hadist Shohih, Hasan Dan Dho’if (Makalah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.   
Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber
ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan
pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk
Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang
mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat
dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki
peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang
bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat
perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti
ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat
hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu
untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul
(diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis
yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih
dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada
yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik
Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen
tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman
orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam
hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis
atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah
tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas
sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu
mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama
hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan
mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui
permasalahan-permasalahannya.
B.    
Rumusan Masalah
      Dengan uraian latar
belakang diatas penulis hendak menyajikan makalah yang
berkisar pada permasalahan hadis sahih,hasan dhaif
dan maudhu’
yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
  1. Pengertian, syarat-syarat, pembagian, kehujjahan
    dan kitab-kitab hadis shahih;
  2. Pengertian, Pembagian, Kehujjahan, Kitab-kitab
    Hadis Hasan;
  3. Pengertian, pembagian, pengamalan dan kitab-kitab
    hadis dhaif;
  4. Pengertian, sejarah munculnya, motivator,
    kaidah-kaidah untuk mengetahui, kitab-kitab dan hukum meriwayatkan hadis
    maudhu’;
BAB II
PEMBAHASAN
A.   
Hadis Shahih
1. Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih
      Ibnu shalah
mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
     
“Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang
yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya,
tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat)[1]
      Ajjaj al-Khatib
memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan
perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya
(rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”[2]
     
Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah
hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil
sanadnya,  b. Perawi-perawinya adil[3] c. Perawi-perawinya dhabit[4] d.
Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan terhindar dari illat
qadihah (illat yang mencacatkannya)
           
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat
keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a.      
Hadis
tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b.     
Hadis shahih
bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan
tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c.      
Hadis shahih
bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang
mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya
terhindar dari illat.
d.     
Seluruh
tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat[5]
           
Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis
shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya
perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah
hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil)
sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit
tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal (terkena illat).
           
Dengan
demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq
dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.
Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat
maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
           
Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin
tentang hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri
hadis shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang
tidak sama, misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan
periwayat thabaqah berikutnya harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa
serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan  
sebab            
tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara
langsung.
2. Pembagian Hadis Shahih
           
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.      
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua
syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih
li Dzatihi
” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh
dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya
telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan
contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك  
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas,
adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun
illat.
b.     
Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi
(tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang
diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya,
dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain.[7] Berikut contoh hadis shahih
li ghairihi
yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.  
ٍ
    
Hadis
tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi
sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin
‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna,
sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis
tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu
Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
    
Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada
ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan
semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang
diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu
rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa
dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid,
ada yang mengatakan:
1)     
Riwayat Ibn
Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2)     
Sebagian
lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari
Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3)     
Imam Bukhari
dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam Malik ibn
Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i
merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan
Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam
Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul
asanid
adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari
Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata
rantai emas).[8]
3. Kehujjahan Hadis Shahih.
           
Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang
kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum)
sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
 
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan
apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya
.
4. Kitab-kitab yang memuat Hadis
Shahih
.
           
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan
bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[9]:
a.  
Shahih
Bukhari                      
d. Shahih Ibn Hibban
b.  Shahih
Muslim                       
e. Shahih Ibn Khuzaimah
c.  
Mustadrak
al-Hakim
     
Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis
shahih adalah:
a.  
Shahih
Bukhari                      
e. Sunan an-Nasa’i     
b.  Shahih
Muslim                       
f. Sunan  Ibn Majah
c.  
Sunan Abu
Daud                   
g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d.  Sunan
at-Tirmidzi
     
Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan
bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain[10]:
a.  
al-Muwattha’ 
                       
                       
                                   
b.  Shahih
Bukhari                      
c.  
Shahih
Muslim
d.  Shahih Ibn
Khuzaimah
e.  
Shahih Ibn
Hibban
f.  
Al-Mukhtarah[11]
B. Hadis Hasan
1.  Pengertian
Hadis Hasan
     
Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang
adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat
ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.[12]
     
Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang
sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan[13]
      Ibn
Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan
bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat.
Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya
kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi[14]
     
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi
syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau
sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi
hadis shahih. [15]

      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para
ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis
shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya
kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.

      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai
berikut:

a.      
Sanad hadis
harus bersambung.

b.     
Perawinya
adil

c.      
Perawinya
mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.     
Hadis yang
diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.      
Hadis yang
diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[16]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      
Hadis hasan
li dzatihi
      Hadis
hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria
hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain
untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.     
Hadis hasan
li ghairihi
      Hadis
hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang
(lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik
atau pendusta.[17]
           
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis
dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan
berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat
tentu masih berstatus dha’if.
           
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn
Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,
Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan
sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.[18]
             
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ،
عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ
الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ
يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ
فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
         
Hadis
tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang
terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut
   
adz-Zahaby,Ma’bad
termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.[19]
           
Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي
فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :” أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ
؟” قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)                       
         
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari
‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya
bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang
sandal.
             
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama)
dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena
buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur
riwayat yang lain.[20]
             
Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua
ketentuan,yaitu:
a)     
hadis
tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat
bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari
padanya.
b)     
bahwa sebab
kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya
periwayat yang tak dikenal.[21]
           
Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti
hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’
kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
           
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah
hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan
hukum maupun dalam beramal.
           
Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat
tentang kehujjahan hadis hasan ini.[22]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
           
Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if
adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran
dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis
hasan adalah[23]:
a.  
Sunan
at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu
Daud
c.  
Sunan ad-Dar
Quthny
C. Hadis Dhaif
1.  Pengertian
dan Pembagian Hadis Dha’if
           
Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu
lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if
maknawiyah.
           
Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat
hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”[24]
           
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif
ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
           
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat
hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”[25]
           
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan
dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak
terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
           
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat
dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak
memenuhi syarat bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada
perawinya.
  1.  Dhaif disebabkan karena tidak
    memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini di bagi lagi menjadi
    :
      1) Hadis
Mu’allaq
                   
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih
rawi baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari:
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن
أبى هريرة عن النبى “لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
        Dikatakan Muallaq
karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik
tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت العائشة كان النبى
يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
        Hadis
mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah
tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
bersabda begini atau berbuat seperti ini”[26].
Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى
باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak
menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3) Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’ menurut istilah para ulama
hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya  tidak bersambung
dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadis mutaakhkhirin adalah
”suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi
tetapi tidak berturut-turut” [27]
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى
إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan
hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri
tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits
dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di
atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.
4) Hadis Mu’dhal
Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang
gugur pada sanadnya dua atau lebih secara berurutan.”[28].
Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada
al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata,
“rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ، لا
يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق “
Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam
kitab alMuwaththa’
., Letak ke-mu’adalahan-nya
karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari
bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan[29]
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan
rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
a. Tadlis Isnad, adalah
hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan
ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut
langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar
langsung hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas
melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis
qath’i
: Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di
atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan
telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi
. .
.” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari
al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut
juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan
tujuan untuk memotong).
c. Tadlis
‘Athaf
(merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu
bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan
menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari
guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis
Taswiyah
: apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang
bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan
oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis
shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling
buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e. Tadlis
Syuyukh
: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi
dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah
(julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan
masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh
pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya
brkata kepadaku”.
f. Termasuk
dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran
nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud
adalah suatu tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang
perawi melakukan tadlis suyukh, adakalanya dikarenakan gurunya
lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena perawi ingin
menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda
usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis darinya dan lain sebagainya.
  1. Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya
           
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima,
dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.
  1. Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya,
    yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan,
      c)  berdusta, d)
Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan
  1. Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya,
    yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d)
    Banyaknya waham, e) menyelisihi para perawi yang tsiqah
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan
sebab-sebab diatas:
1) Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’ adalah hadis
kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali.
Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian
dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.[30]
Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang
diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:
قيل يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه
يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn
Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
             
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka
berdusta.[31] Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha’ al hajat
yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa’id al Asdi dari
dhahak dari Ibn ‘Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه
يمنع مصارع السوء … الخ
Menurut an Nasa’i dan Daruqutni,
Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan
oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan.[32] perawi itu tidak memenuhi
syarat biasa dikatakan seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis
yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri
tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
a. Majhul ‘aini : hanya
diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta’dilnya.Contohnya
hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa’ad dari Ibn Luhai’ah dari Hafs ibn
Hasyim ibn ‘utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn
Sa’id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح
وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai’ah yang meriwayatkan hadis dari
Hafs ibn Hasyim ibn ‘utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta’dilnya.
b.
  
Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang
namun tidak diketahui jarh dan ta’dilnya.contoh hadis ini adalah
hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا.
اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
           
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam rangkaian sanad-nya,
baik lelaki maupun perempuan.[33] Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari
seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم
والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang
beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya lebih kuat[34].
7) Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub
ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang
seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang
seharusnya didahulukan.
8) Hadis mudraj
   
            Secara
terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau
tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran
perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan,
baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
9) Hadis mushahaf
   
            Hadits mushahaf
ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang
kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan
ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis
menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.

            Selain hadis
diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha’if antara lain,
mudhtharab
, mudha’af , mudarraj, mu’allal, musalsal, mukhtalith
untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok
dirayah ilmu hadis
dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
2. Pengamalan Hadits Dha’if
           
Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama  melakukan
pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga
terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan
hadis dhaif:
a.  
Hadis dhaif
tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam.
pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm,
Abu Bakar ibn Araby.
b.  Hadis dhaif
bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam
Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.
c.  
Sebagian
ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail
mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.[35]
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah
amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1)  Kelemahan
hadis itu tiada  seberapa.
2)  Apa yang
ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi,
dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang
sudah dibenarkan.
3)  Jangan
diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya
dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash
sama sekali.[36]
3. Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif.
1.     
Ketiga
Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir
2.     
Kitab
al-Afrad, karya ad-Daruquthny
3.     
Kumpulan
karya al-Khatib al-baghdadi
4.     
Kitab
Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, karya abu Nu’aim al-Asbahani.
D. Hadis Maudhu’
a.     
Pengertian Hadis Maudhu’
           
Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan
menurut istilah adalah:
           
”sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara
dusta”[37].
           
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif
lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif
dan maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.[38]
           
Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu’
dinamakan juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.[39]
b.     
Sejarah Munculnya Hadis Maudhu’
           
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis,
berikut pendapat mereka:
a.      
Menurut
Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih hidup.
b.     
Shalahuddin
ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan
yang terjadi pada masa rasulullah saw.
c.      
Menurut
jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib.[40]
c.      
Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
           
Hadis maudhu’ tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bid’ah dan
pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan
oleh orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.
           
Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a.      
Pertentangan
Politik
      Perpecahan
umat islam terjadi akibat permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah
Ali bin Abi Thalib, membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis
palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha
mempengaruhi orang-orang tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat
hadis palsu.
b.     
Usaha Kaum
Zindiq
      Kaum Zindiq
adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar
pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga
mereka beralih melakukan upaya pemalsuan hadis.[41] Dengan tujuan ingin menghancurkan
islam dari dalam.
c.      
Sikap
Fanatik Buta
      Salah
satu faktor upaya pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik
buta tehadap suku, bangsa, negeri dan pimpinan
     
Contoh golongan yang fanatik yaitu ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap
bangsa persia, dia mengatakan “Apabila Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan
bahasa arab dan apabila senang dia menurunkan dengan bahsa persia.[42]
d.     
Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah  dan Nasehat
     
Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memmperoleh simpati
dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.[43]
Hadis yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
     
Bahkan ada hadis palsu yang berbunyi: “nabi duduk bersanding dengan Allah
diatas Arsy-nya”.
e.      
Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
     
Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para
pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena ingin menguatkan
madzhabnya masing-masing.
f.      
Lobby dengan penguasa
     
Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa khilafah bani Abbasiyah, seorang yang
bernama Ghiyats ibn Ibrahim pernah membuat hadis yang disebutkannya didepan
khalifah al-Mahdi yang menyangkut kesenangan khalifah.[44]
g.  
Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan.
     
Dikalangan para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa membuat hadis-hadis yang
bersifat mendorong agar giat beribadah (targhib) adalah hal yang
dibolehkan, dalam rangka ber-taqarrub kepada Allah.[45]
d. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui
Hadis Maudhu’
           
Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan
hadis maudhu’, sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan
beberapa hal, antar lain[46]:
a.      
Pengakuan
dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh bin Abi
Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis atas Ibnu
Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.
b.     
Adanya
indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya seorang
perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.
c.      
Adanya
indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat, atau
bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan agama
yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan kacau, misalnya apa
yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya
secara marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali
dan shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”
e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
           
Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang
yang  mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan
penjelasan akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:
 “barang siapa yang menceritakan hadis dariku
sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)
f. Kitab-kitab Hadis Maudhu’:
a.      
al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi
b.     
al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya
as-Suyuthi
c.      
Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani.
BAB III
KESIMPULAN
           
Dari uraian makalah yang penulis paparkan diatas, dapat disimpulkan beberapa
hal.
1. Hadis Shahih
  1. Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya
    bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang
    yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal
    (terkena illat).
  2. Syarat-syarat hadis shahih antara lain: a.
    Muttashil sanadnya b.Perawi-perawinya adil c.Perawi-perawinya dhabit
    d.yang diriwayatkan tidak syaz e.yang diriwayatkan terhindar dari illat
    qadihah(illat yang mencacatkannya).
  3. Hadis shahih terbagi atas dua:
1.shahih lidzatihi
2.shahih li ghairihi
  1. Tidak terdapat perbedaan ulama tentang
    kehujjahannya terutama dalam masalah penentuan hukum sesuatu.
  2. Kitab-kitab yang memuat hadis shahih, antara
    lain:
1)     
Shahih
bukhari                 
7)  Shahih Ibn Khuzaimah
2)     
Shahih
muslim       8)  Sunan Abu Daud
3)     
Mustadrak
al-Hakim         9)  Sunan
at-Tirmidzi
4)     
Shahih Ibn
Hibban           
10)  Sunan an-Nasa’i
5)     
Shahih Ibn
Khuzaimah     11)  Sunan  Ibn Majah
6)     
Sunan Abu
Daud
2. Hadis Hasan
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang
    sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya
    (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)     
Sanad hadis
harus bersambung.
2)     
Perawinya
adil
3)     
Perawinya
mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)     
Hadis yang
diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan
terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.      
Hadis hasan
dibagi menjadi dua yaitu:
a.      
hasan li
dzatihi
b.     
hasan li
ghairi
b.      Hadis hasan
sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya    
dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan
hukum maupun dalam beramal
c.      
Kitab-kitab
Yang Memuat Hadis Hasan
a.      
Sunan
at-Tirmidzy
b.     
Sunan Abu
Daud
c.      
Sunan ad-Dar
Quthny
3. Hadis Dhaif
a.   Hadis dhaif adalah
“hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih
      dan tidak pula didapati syarat hadis hasan
b.  ditinjau dari segi
sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi kepada dua
           bahagian:
1.     
Dhaif disebabkan
karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad, yang tergolong didalamnya
antara lain:
a.      
Mu’allaq
b.     
Mursal
c.      
Munqathi’
d.     
Mu’dhal
e.      
Mudallas
2.     
Dhaif karena
terdapat cacat pada perawinya, yang tergolong didalamnya antara lain:
a.      
Maudhu’                     
g. Mudhtharab
b.      Munkar                       
h. Mudarraj
c.      
Majhul                        
i.  mu’allal
d.      Matruk                                   
j.  Musalsal
e.      
Mubham                     
k. Mukhtalith
f.      
Syadz                         
l.  mudha’af
c. Terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama mengenai pengamalan hadis
           dhaif, mengenai
hal ini ada tiga pendapat:
1)     
Hadis dhaif
tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam.
2)     
Hadis dhaif
bisa digunakan secara mutlak, hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan
3)     
Sebagian
ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail
mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat
d.  Kitab-kitab
Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif
1)     
Ketiga
Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir
2)     
Kitab
al-Afrad, karya ad-Daruquthny
3)     
Kumpulan
karya al-Khatib al-baghdadi
4. Hadis Maudhu’
a. Hadis maudhu’ adalah “sesuatu
yang diciptakan dan dibuat-buat lalu  dinisbatkan kepada rasulullah secara
dusta”
b.  Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
1).  Pertentangan Politik
2).  Usaha Kaum Zindiq
3).  Sikap Fanatik Buta
4).  Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah 
dan Nasehat
5).  Perselisihan dalam fiqhi
dan ilmu kalam
6).  Lobby dengan penguasa
7).  Semangat ibadah yang berlebihan tanpa
didasari pengetahuan
c.  Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
1)      Pengakuan
dari orang yang memalsukan hadis
2)      Adanya
indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya
3)      Adanya
indikasi pada isi hadis
d.   Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan
hadis maudhu’dari orang yang  mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun,
kecuali disertai dengan penjelasan akan kemaudhu’annya Fsafsa
e.   Kitab-kitab Hadis Maudhu’
1). al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi
2). al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah,
karya as-Suyuthi
3). Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim,
Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman,
Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah,
Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar
   Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr,
Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang
  diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda
Karya,      Cet.II, 1997
Hasby
as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan
Bintang,1987)
al-Khatib,
Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar
         al-Fikr, 1975
Mudassir,
Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem,
Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan ,
Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol
         Abdurrahman dalam judul Pengantar
ilmu Hadis
, Jakarta: Pustaka al-Kautsar    cet.II, 2006
Sayyidi
,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih,
Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.
            
[1] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu
wamusthalahatuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 304
            
[2] Ibid., h. 305
            
[3] Kata”adil” menurut muhaddisin adalah: lurus agamanya,
baik budi pekertinya,bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan
perawinya.
            
[4] ”dhabit” ialah: yang kuat ingatan,dan hafal secara
sempurna.Dhabit terbagi atas dua macam, pertama: dhabt shadr yaitu perawi
memiliki daya hafal yang kuat dan mampu menyuguhkannya kapan saja.kedua:”dhabt
kitab
” yaitu pemeliharaan melalui penulisan teks dan hafalan.dengan tingkat
ketelitian yang tinggi.
               
[5] Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu,
(Beirut; Dar al‘Ilm, 1988), h. 145-146
               
[6] Ahmad Umar Hasyim, Taysir Musthalah al-Hadis
(t.d) h. 24
               
[7] Taufiq Umar Sayyidi, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan
ar-Riwayah
(t.d)h. 5
               
[8] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit., h.307
               
[9]   Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi
‘Ulum al-Hadis
diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul Pengantar
ilmu Hadis
, (jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006) h. 119-120
               
[10] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar
al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis(Bandung: Remaja
Rosda Karya, Cet.II, 1997)h. 12
               
[11] Kitab “al-Muktarah disusun oleh al-Hafidz
Dhiya’uddin Muhammad ibn Abdul Wahid al-Maqdisi.
               
[12] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
               
[13] Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
               
[14] Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.th) h. 38
               
[15] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit.,
h.332
               
[16] Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara
sumber Widya, 2001) h. 230
               
[17] Ibid., h. 230
               
[18]  Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h.
334
               
[19] Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
               
[20] Manna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
               
[21] Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
               
[22] Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
               
[23] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
               
[24] Ibid., h. 129
               
[25] Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul al-Hasif Fi Bayani
al-hadis ad-Dhaif
(Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992) h. 6
               
[26] Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 134
               
[27] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 138
               
[28] ibid., h. 136-137
               
[29] Ibid.,
               
[30] Shubhi Shailih, op. cit., h. 263
               
[31] Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,(Jakarta:
PT.Bulan Bintang,1987) h. 262
               
[32] Ibid.,  h. 264
               
[33] Ibid., h. 300
               
[34] Ibid., h. 268
               
[35] Ibrahim Abdul Fattah, op. cit., h. 17-18
               
[36] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 131
               
[37] Ibrahim Abdul Fattah, op. cit., h. 119
               
[38] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 145
               
[39] Hasby as-Shiddieqy, op. cit., h.361
               
[40] Mudassir, Ilmu Hadis (Bandung, 2007) h. 172
               
[41] Hasby as-Shiddieqy, op. cit., h. 259
               
[42] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit., h. 359
               
[43] Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis(Bandung:
Al-Ma’arif ,1991) h.153
                [44] Muhammad
Ajjaj al-Khatib, op.cit., h. 362
               
[45] Nawir Yuslem, op. cit., h. 312
               
[46] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 146

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *